Kisah jilbab:
Ami Fidiyanti, SMA N 28 Jakarta
Kulihat
dari ujung kacamataku, teman-teman ikhwan membagi-bagikan jilbab
pada teman-teman perempuanku. “Ayo dong pake, nih udah dibawain! Pake’
deh, jadi tambah cakep loh!” ucap mereka dengan semangatnya. Tentu saja
kubersyukur. “Ah, teman-teman makasih ya udah ngeringanin tugas akhwat untuk
merayu mereka.” Kadang kalau dipikirkan lucu juga teman-teman perempuan itu,
mereka nggak kuat kalau yang ngerayu itu ikhwan. Ikhwannya sih seneng-seneng
aja, begitu juga dengan teman-teman perempuanku itu yang rela didandanin
meng-akhwat. Ya, begitulah yang kami lakukan saat pelajaran agama Islam. Pak
Guru membolehkan kami belajar tanpa lepas jilbab maka kami memanfaatkan untuk
‘menjilbabi’ seluruh siswi yang ada di kelas dengan cara memodali mereka jilbab
dan peniti. Perbuatan dramatis itu jelas mendapat teguran dari sekolah yang
diarahkan ke Pak Guru Agama.
Teguran
itu sebenarnya berawal dari sikap kami yang mulai berjilbab di sekolah yang
komunitasnya tak pernah berhenti sejak kemunculannya pada 1983 di sekolah
tercinta ini. Persoalan jilbab di sekolah negeri mulai ada sejak era ’80-an.
Kisahnya selalu klasik yang diakhiri dengan keluarnya siswi tersebut secara
sukarela. Hal itulah yang dialami oleh kakak kelas pada angkatan ’83-’85.
Tahun-tahun awal itu saat-saat yang berat bagi jilbaber. Apalagi kepengurusan
Rohis belum berjalan baik, masih individual dan pengajian di sekolah belum ada.
Belum ada komunikasi di antara jilbaber karena jumlahnya masih minim, untuk
angkatan ’83 hanya satu orang. Saat itu ia dimusuhi oleh guru bahkan sempat
melompat pagar sekolah ketika dikejar-kejar guru karena memakai jilbab terus di
sekolah. Akhirnya seperti siswi SMA lain pada umumnya, ia memilih keluar untuk
menjaga aqidah Islamiyah. Untuk sesaat, sekolahku ini menjadi kawasan bebas
jilbab.
Keberadaan
jilbab mulai ‘welcome’ saat jilbaber menurut peraturan sekolah untuk bongkar
pasang beberapa tahun setelah peristiwa itu. Wakasek yang kebetulan non-muslim
tetap menentang keberadaan kami, sedangkan Kepsek, alhamdulillah tidak terlalu
menentang. Ia melihat siswi-siswi berjilbab di SMA tetangga kami (SMA 26)
banyak yang membuat harum nama sekolah dengan prestasinya dalam lomba-lomba
bidang studi. Di sini, kami memang low profile, hanya ikhwannya yang menonjol
sehingga citra jilbab belum terbangun. Walau demikian, para guru cukup toleran
dengan memperbolehkan kami membuka jilbab setelah tiba di dalam sekolah. Hal
itu tidak bisa kami lakukans etiap saat sebab Wakasek tercinta itu sudah
menunggu kami dengan setia di pintu pagar, “Ayo dibuka jilbabnya!” ujarnya
tanpa memandang bagaimana perasaan kami ‘digunduli’ di jalan raya yang cukup
ramai. Ya, apa boleh buat, kami terpaksa buka jilbab di situ. Alhamdulillah, ia
tidak tiap pagi nongkrongin kami. Selamat dari ujian pertama, melangkah pada
ujian kedua. Guru BP kadang ngecek siswa, dari baju yang kependekan, sampai…
yang kepanjangan. “Kalau ada yang kepanjangan, saya gunting!” katanya. Ah,
ujian itu tidak seberapa bila dibandingkan dengan para sahabat, seperti Bilal
atau Amar bin Yassir yang kehilangan kedua orangtuanya.
Kami
menyadari bahwa kami berbeda dengan teman-teman yang lain. Jilbab-jilabab yang
melambai bahkan ada yang super lebar sampai menyentuh ujung sepatu sempat
diprotes sekolah. Yang membuat kami sedih bahkan cenderung stress, yaitu jam
olah raga. Olah raga berarti olah jiwa bagi kami. Masya Allah, kami harus pamer
aurat, bukan hanya sekadar buka aurat saja. Untuk membayangkannya saja ngeri
rasanya, tapi itulah yang terjadi pada tahun 1990. Pada jam olahraga itu kami
harus lari keluar dari sekolah. Rute yang ditempuh ialah sekolah-lapangan
Palapa PP. Sekolah kami berada pas di pinggir jalan raya. Manusia dan mobil
berseliweran setiap detiknya, dan mereka dengan enaknya dapat memandang kami.
Bisa dibayangkan bagaimana rasanya kalau ‘gundul’ hanya baju olahraga saja,
tanpa kerudung kepala, kami tetap harus berlari. Hanya dengan pakaian dan
celana selutut saja sudah begitu menyiksa kami, ditambah lagi harus berkeliling
di jalan raya. Tampang kami yang culun dengan rambut diikat kuda tentu kentara
bedanya dengan siswi yang tidak berjilbab, seolah-olah orang-orang di jalan
mengatakan, “Itu tuh siswi yang pake jilbab!” “Ya Allah, kuatkan hamba.”
Allahu
Akbar! Kami mampu melakukan ‘kucing-kucingan’. Setelah keluar dari pintu
gerbang, kami mencari mobil yang diparkir, lalu di balik mobil itu, kami
mengenakan jilbab dan… berlari. Sampai di daerah Palapa, dengan lambat-lambat,
tanganku bergerak ke atas membuka jilbab. “Ya Allah, apa yang harus kulakukan?
Kami sadari kami tidak kaffah, tapi itulah yang mampu kami lakukan saat ini.
Ampuni kami ya Allah!”
Kapankah
tibanya pertolongan-Mu, ya Allah?
Kapankah
Kau kabulkan doa yang kami bisikkan dalam shalat-shalat panjang kami?
Subhanallah,
titik terang itu mulai berpencar cahayanyya. Saat itu pada 1990, ada musyawarah
MPK (Majelis Permusyawaratan Kelas) se-Jaksel yang dihadiri beberapa SMA di
antaranya SMA 6, 8, 28, 38, dan 70 yang membahas lokalisasi WTS. Topik yang
berkenaan dengan moral itu menjadi momen yang pas untuk melempar isu jilbab
dengan harapan jilbab diperbolehkan. Momen kedua menuai isu jilbab saat Pak
Arif Rahman (Kepsek SMA Lab-School) berbicara di sekolah kami. Di depan para guru,
Pak Arif menyatakan, “Jilbab itu bukan suatu ancaman, malah membuat anak jadi
baik.” Allahu akbar! Kami melihat reaksi yang positif. “Ssstt… wakepsek
ngangguk-ngangguk, ibu BP juga ngangguk-ngangguk, wah ada harapan nih,” bisik
teman sebelahku layaknya berdoa.
Doa adalah usaha
yang tak pernah kami hentikan, ia selalu terucap dalam setiap detik langkah
kami. Subhanallah, Depdikbud sebagai pihak yang berwenang mendengar aspirasi
kami (setelah beberapa kasus jilbab mencuat) dengan mengeluarkan SK 100 tahun
1991. Kami bersyukur, dan memang selayaknya bersyukur. Sujud syukur pun
dilakukan serentak di Masjid al-Azhar pada Januari 1991. Mendengar kabarnya
saja, hanya air mata yang menjadi saksi. Kami tak bisa membendung tangis ini.
alhamdulillah wa syukurilah. Sementara itu, kami masih bingung, apakah sudah
boleh mengenakan jilbab atau belum karena kami tak mempunyai SK tersebut.
Kepsek yang baru hanya menyatakan, “Saya tidak melarang, juga tidak menyuruh,”
tetapi guru BP tetap patroli seperti dulu.
Sujud
syukur di Masjid al-Azhar dihadiri oleh ratusan muslimah dan subhanallah, aku…
adalah salah satu di antaranya. Ternyata, yang berjuang menegakkan syari’at
Allah itu bukan hanya aku, banyak sekali jumlahnya, belum lagi di daerah yang
tidak sempat menghadiri acara itu. Usai acara di pagi itu, tugas baru menunggu,
yaitu memberitahukan kepada teman-teman di sekolah bahwa futuh jilbab sudah
benar-benar terjadi. Kami juga harus menentukan apakah mulai hari ini
mengenakan jilbab di sekolah, kami bingung. Ya Allah, apakah kami belum siap
dengan futuh jilbab? Apakah terlalu singkat perjuangan kami sehingga kami belum
bisa menghayati perjuangan kakak-kakak kami dahulu? Akhirnya kami menunda
memakai jilbab pada hari bersejarah itu.
Pada
masa transisi itu, para ikhwan mengadakan negosiasi dengan sekolah. Mereka
meminta akhwat bersabar. “Aduh akhi, bagaimana mau kompromi lagi, ini kan
aurat, yang malu kan kita-kita ini para akhwat,” keluh akhwat. Alhamdulillah
pada pelajaran olahraga, jilbab boleh dikenakan. Dalam keadaan yang tidak
menentu itu, guru BP memanggil semua jilbaber dari kelas I, II, dan III untuk
briefing. Kami, sekitar 40-50 orang sudah mempersiapkan argumen, memilih jubir,
tetapi kami tidak sanggup bicara, semuanya menangis duluan. Guru BP memulainya
dengan menyentuh jiwa bahwa kewajiban sekolah ini untuk orangtua. Ia memainkan
emosi yang terdalam, tentang bakti kami kepada orangtua. Wakasek juga
mengingatkan bahwa sikap keras kami tak ubahnya seperti gerakan PKI yang laten.
Kami memang menentang peraturan pemerintah, kami menentang sekolah, tapi masya
Allah, kami…. Kami juga menentang orangtua, termasuk aku. “Ya Allah, bagaimana
kami bisa bicara, kalau kami langsung diingatkan kepada orangtua kami di rumah.
Kubayangi bapak dan ibu yang kecewa terhadap sulungnya.”
Aku
adalah anak sulung yang dicita-citakan menjadi wanita karir. Ternyata aku lebih
cepat diizinkan meraih hidayah-Mu. Aku mengenal jilbab saat SMP kelas III. Aku
sempat nyantri saat liburan, yang setiap ustadz datang mengajar, ia selalu
mengatakan, “Pakaiannya harus pakaian muslimah!” Kulihat juga keagungan wanita
berjilbab. Simpatiku pada jilbab sampai pada tahap identifikasi, sayang ortu
tak mengizinkan. Setelah itu, hari-hariku berjalan biasa sampai aku diterima di
SMA Negeri 28 Jaksel ini. keahlian menari Jawa mengantarkanku masuk nominasi
AFS. Saat tes akhir AFS, aku berada pada garis kebimbangan setelah membaca
artikel tentang seorang wanita Barat yang masuk Islam dan memilih hijrah ke
Mesir. “Lho kok, kenapa aku, wanita Islam malah mau hijrah ke Amerika?” konflik
batin terjadi. Aku teruskan niatku di AFS karena aku tertantang ucapan Bapak
yang mengizinkanku berjilbab jika lulus AFS. Ternyata aku gagal.
Sementara
itu, Bapak terus mencari kebenaran tentang jilbab kepada seorang ulama terkenal
yang baru saja pulang dari Amerika, yang kebetulan tetanggaku. Bapak mendapat
pertimbangan bahwa jilbab itu dosa kecil yang diampuni. Astaghfirullah!
Kuhiraukan argumen ulama tersebut, aku putuskan pake jilbab saat daftar ulang
kelas II. Ortu meradang, katanya, “Ini sekali, apa diterusin?” aku disidang.
“Benazir Bhuto saja nggak begitu, Pak itu aja yang ulama keluarganya tidak
berjilbab,” tegas Bapak. Aku tetap pada sikapku. Bapak jatuh sakit. Akhirnya
aku backstreet, berangkat dari rumah ke sekolah melewati jalan yang sepi lalu
pake di sana sampai sekolah.
Hal
itu kulakukan selama seminggu di kelas II. “Ya Allah, aku mampu membohongi
ortu, tapi… aku tidak mampu membohongi diri sendiri.” Bismillah, aku beranikan
diriku pulang dengan memakai jilbab sampai depan rumah. Jilbabku langsung
direnggut saat itu juga, aku hanya menatapnya lalu masuk kamar dan mengadu pada
Allah. Aku menangis. Bapak mengancamku, “Kalau kamu pake lagi, semua bajumu
akan diambil.” Aku mencoba istiqomah dengan mencuci dan menjemur baju sendiri. Herannya,
semuanya hilang. Ketika hal ini kuceritakan kepada akhwat di sekolah, mereka
malah menertawakanku, “Masa di rumah sendiri hilang,” kata mereka. “Iya… ya,
lucu juga.” Walhasil, aku kehabisan baju dan jilbab.
Subhanallah,
aku tak pernah membayangkan pertolongan Allah datang kepadaku. Saat aku
benar-benar kehabisan sandang untuk sekolah, aku mencoba mengambilnya dari
kamar ortu. Kuharap bapak tidak membakar baju dan jilbabku seperti janjinya.
Aku tidak tahu bagaimana badanku bisa mengecil sehingga mampu masuk kamar yang
terkunci itu. Aku hanya melepas satu buah nako dan melewatinya dengan mudah.
Badanku memang kurus, tapi melewati jendela nako yang kulepas satu, aku tak
bisa membayangkannya. Allahu akbar. Kudapati di atas lemari, semua baju yang
kubutuhkan. Bluur… akhirnya aku ambil dua buah untuk menepis kecurigaan.
Semenjak
memakai jilbab dan menentang aturan ortu, aku disisihkan dan tersisih dari
keluarga besar. Aku seperti disembunyikan di dalam rumah saja, mereka malu
mengajakku karena berjilbab. Itu tidak mengapa, tapi… ternyata Bapak menahan
SPP-ku selama satu semester. Alhamdulillah ada om-ku yang membayarkannya tanpa
sepengetahuannya. Aku tetap mencoba untuk berkomunikasi, aku katakan kepada
Bapak, “Walaupun aku tidak nurut pada Bapak, tapi aku tetap anak Bapak.” Bapak
memenuhi permintaanku hingga Bapak kembali membayar SPP. Sikap Bapak tetap
tidak berubah.
Tekanan
dari sekolah dan terlebih dari rumah membuatku selalu berpikir. Aku terkena
sakit kepala yang amat sangat, stress, high tension, dan harus berobat ke
bagian neurologi RSCM sendirian. Aku masuk EEG sendirian, dan aku menangis
sendirian saat kartu berobatku hilang. Hasil EEG menyatakan bahwa aku tidak ada
kelainan, hanya tension headache ‘tekanan psikis’. Hal itu terjadi karena
kejadian berat selama dua tahun setelah berjilbab. Aku bertambah stress
menjelang UMPTN. UMPTN adalah penetuan, kalau tidak lulus maka aku makin
tersisih bahkan dalam keluarga besarku.
Pada
saat libur lebaran, kami pulang kampung ke Solo. Ibu mencoba mengobati dengan
membawaku ke pengobatan tradisional, macam pijat refleksi. Mungkin ibu kasihan
melihatku jika datang pusing yang amat sangat. Aku mengaduh di kamar sampai
tetangga sebelah mendengar erangan sakitku. Orangtua itu memengang kakiku,
bertanya, “Keras amat sih mbak, mendem apa?” Saya menangis nahan sakit. Ibu
menjelaskan, “Iya, dia mau pake jilbab, tapi nggak boleh cerita-cerita apalagi
sama Om-nya yang deket, walau tinggalnya jauh dari kami.” Bapak itu juga cerita
bahwa anaknya yang kuliah di UNS bahkan bercadar, dan tetap pada pendiriannya.
Terus ibu bilang, “Kalau kamu mau pake jilbab, terserah!”
Terserah…
kata itu yang sebenarnya aku tunggu selama dua tahun dari orangtua yang
melahirkanku. Subhanallah ibu ridha. Tiga pekan aku di kampung, penyakitku
hilang. Aku mengikuti UMPTN dengan baik dan alhamdulillah aku diterima di PTN
favorit pada 1992.
Bila kukenang
perjuangan kecilku, ternyata tidak sia-sia. Perlahan, satu persatu adik-adikku
ikut mengenakan jilbab. Kenikmatan ini memang terlambat dibanding dengan
kenikmatan di sekolah. Sekolah tak melarang lagi setelah SK jilbab ’91
diputuskan dan disosialisasikan. Jumlah dari kami dari 40-an bertambah menjadi
150-an jilbaber. Aktivitas mendandani siswi untuk mengakhwat terus berlanjut
walau bahkan setelah pelajaran Agama usai. Hanya guru non-muslim yang
menyindir, “Coba ya, dirapikan pakaiannya.” Aktivitas Rohis juga semakin baik.
Pak guru Agama ditunjuk menjadi PJ Tafakur Alam SMA se-Jaksel. Rohis sendiri
melakukan konsolidasi dengan membina seluruh anggotanya secara kontinu dengan
bantuan alumni sampai mereka menjadi alumni. Pihak sekolah mendukung dengan
cara mewajibkan acara Rohis, seperti Studi Islam Ramadhan, bahkan masuk rapor.
“Tak lepas-lepasnya lidah ini mengucap tahmid pada-Mu, ya Allah.”
________
Kisah nyata ini ditulis ulang oleh admin Bukan Orang Suci dari buku Revolusi Jilbab karya Alwi Alatas dan Fifrida Desliyanti, bertepatan dengan Hari Hijab Internasional (4 September). Semoga menjadi motivasi perjuangan, khususnya bagi akhwat untuk istiqomah berhijab. (rumahkeluarga-indonesia.com)
Kisah nyata ini ditulis ulang oleh admin Bukan Orang Suci dari buku Revolusi Jilbab karya Alwi Alatas dan Fifrida Desliyanti, bertepatan dengan Hari Hijab Internasional (4 September). Semoga menjadi motivasi perjuangan, khususnya bagi akhwat untuk istiqomah berhijab. (rumahkeluarga-indonesia.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar