“AWAL Musim Hujan, Waspadai Cuaca Ekstrim!” demikian salah satu judul sebuah
media massa mengawali datangnya musim penghujan tiba. Judul-judul dari media
lain tak kalah menyeramkan. “Waspada! Hujan Deras Disertai Petir Intai
Jakarta”
Seiring datangnya musim hujan, kita semua sering
dikejutkan dengan kata-kata dan nada hujatan kepada sang pemberi rizki dan
penghatur hidup semua alam dan semua manusia, Allah Subhanahu Wata’ala.
Secara tidak terasa, media massa kita mengajarkan hal
yang salah,yang sesungguhnya berdampak pada tauhid dan keimanan pada kita
semua. Nada-nada hujatan (maaf) bahkan menyalahkan pada Tuhan kadang juga datang
dari media yang mengatasnamakan Islam. “Truk Macet 200 Km Gara-Gara Hujan
Salju di Rusia”, tulis Republika Online, Senin, 03 Desember 2012.
“Gara-gara Hujan, Padang Fair Tidak Capai Target”, tulis media lain.
“Ah, gara-gara hujan, motorku kotor lagi. Sudah
gitu, sepatuku satu-satunya ikut kehujanan lagi. hufffttt!!,” begitu gerutu
sebagian masyarakat di sekitar kita.
Kesalahan dalam memaknai tanda-tanda alam dan semua
pemberian Allah Azza wa jalla, sesungguhnya bisa berdampak pada ketauhidan
kita. Akibatnya, semua pergantian cuaca, alam dan seisinya, akan dipandang
sebagai kesalahan sang Pencipta, Allah Subhanahu Wata’ala. Memang kelihatannya
sederhana, namun ini sesungguhnya hal yang serius, menyangkut keimanan.
Rahmat dari Allah
Tidak ada setetes air hujan yang membasahi bumi ini
kecuali atas kehendak Allah Subhanahu Wata’ala. Apa yang terjadi dari ujung
kaki hingga ujung langit, dari pagi hingga malam, gumpalan awan, petir, hujar
deras, banjir bandang, tak terkecuali adalah karena kehendak Allah Subhanahu
Wata’ala. Karenanya, menyalahkan turunnya hujan, sama halnya menyalahkan
apa yang telah ditakdirkan Allah kepada kita dan alam.
Sungguh tidak layak kita sewot, marah hanya karena
pakaian dan baju kita basah akibat siraman air hujan. Tak perlu pula kecewa
karena pertemuan kita batal gara-gara hujan. Apalagi sampai keluar umpatan dan
cacian gara-gara hujan. Menyalahkan alam sama saja dengan menyalahkan Allah
Allah azza wa jalla.
Sikap seorang mukmin dan Muslim atas masalah ini
adalah menerima, menikmati dan bersyukur. Adalah Rasulullah Muhammad
Shallallahu ‘alaihi Wassalam sebaik-baik manusia yang pantas kita tiru
akhlaknya. Termasuk bagaimana beliau menghormati datangnya hujan.
Di kala melihat hujan beliau langsung berdoa: Allahumma
Shayyiban Naafi’an (Ya Allah, jadikan hujan ini sebagai hujan yang
membawa manfaat dan kebaikan.” (HR. Al-Buhari).
Rasulullah bahkan mengungkap rahasia, jika di
antaraturunnya hujan, di situ ada letak dan tanda-tanda dikabulkannya sebuah
doa (mustajab).
اُطْلُبُوا اسْتِجَابَةَ الدُّعَاءِ عِنْدَ ثَلَاثٍ :
عِنْدَ الْتِقَاءِ الْجُيُوشِ وَإِقَامَةِ الصَّلَاةِ ، وَنُزُولِ الْغَيْثِ
“Carilah pengabulan doa pada saat bertemunya dua
pasukan, pada saat iqamah shalat, dan saat turun hujan.” (HR. Al-Hakim).
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, ”Kami
pernah kehujanan bersama Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam. Lalu
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyingkap bajunya hingga terguyur
hujan. Kemudian kami mengatakan, “Wahai Rasulullah, mengapa engkau melakukan
demikian?” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لأَنَّهُ حَدِيثُ عَهْدٍ بِرَبِّهِ تَعَالَى
“Karena hujan ini baru saja Allah ciptakan.” Begitullah akhlak Nabi ketika
turun hujan dari langit.
Soal hujan ini Allah Subhanahu Wata’ala pernah
menjanjikan:
وَنَزَّلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً مُّبَارَكاً
فَأَنبَتْنَا بِهِ جَنَّاتٍ وَحَبَّ الْحَصِيدِ
وَالنَّخْلَ بَاسِقَاتٍ لَّهَا طَلْعٌ نَّضِيدٌ
رِزْقاً لِّلْعِبَادِ وَأَحْيَيْنَا بِهِ بَلْدَةً
مَّيْتاً كَذَلِكَ الْخُرُوجُ
“Dan Kami turunkan dari langit air yang penuh berkah
lalu Kami tumbuhkan dengan air itu pohon-pohon dan biji-biji tanaman yang
diketam, dan pohon kurma yang tinggi-tinggi yang mempunyai mayang yang
bersusun-susun, untuk menjadi rezeki bagi hamba-hamba (Kami), dan Kami hidupkan
dengan air itu tanah yang mati (kering). Seperti itulah terjadinya kebangkitan.” (QS: Qaaf [50]: 9-11)
Dan hujan itu dibutuhkan bagi kelangsungan hidup
manusia itu sendiri. (Lihat QS [32]: 27).
Allah Ta’ala telah mengatakan yang demikian dalam
firman-Nya,
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنَّكَ تَرَى الأرْضَ خَاشِعَةً
فَإِذَا أَنْزَلْنَا عَلَيْهَا الْمَاءَ اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ إِنَّ الَّذِي
أَحْيَاهَا لَمُحْيِي الْمَوْتَى إِنَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Dan di antara tanda-tanda-Nya (ialah) bahwa kau lihat
bumi kering dan gersang, maka apabila Kami turunkan air di atasnya, niscaya ia
bergerak dan subur. Sesungguhnya Tuhan Yang menghidupkannya, Pastilah dapat
menghidupkan yang mati. Sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Fushshilat [41] : 39).
Lantas bagaimana kita menyikapi hujan yang di sebagian
tempat justru membawa musibah? Nah, jika soal ini, bukan Allah nya yang keliru,
tapi manusialah yang bersalah.
Allah telah menurunkan penjelasannya dalam al-Quran
bagaimana seharusnya kita memperlakukan alam dan seisinya dengan baik.
Faktanya, kita (manusia) yang mengingkarinya. Kita salah mengelolanya dengan
baik dan benar.
Realitas menunjukkan, para penguasa memotong pohon dan
menghabiskan lahan-lahan resapan air, membangun bangunan-bangunan yang tidak
memperhatikan dampaknya pada lingkungan. Para penguasa memberinya ijin
serampangan tanpa memikirkan akibat dari kebijakan yang dikeluarkannya, dan
juga masyarakat yang membuang sampah seenaknya ke sungai-sungai dan saluran
air.
Sebuah contoh kecil, negeri-negeri yang saat ini
memimpin dunia dengan teknologi, ekonomi, politik dan militernya rata-rata
berada di belahan bumi utara, negeri subtropis. Jarang mendapat sinar matahari
sebanyak yang kita punya, malam dan siang mereka sering tidak seimbang.
Negeri lain di Afrika yang berada sama dengan kita di
jalur katulistiwa, mereka rata-rata sangat sedikit menerima hujan, sehingga
sedikit pula jenis-jenis tanaman yang tumbuh di negerinya. Pemandangan
ini berbeda dengan di tempat kita, di mana curah hujan dan keaneka ragaman
hayatinya luar biasa dikaruniakan Allah. Tapi apa yangterjadi? Kita salah
mengelolanya.
Karunia ini tidak kita syukuri dan kita kelola dengan
benar.
Di negeri yang siang dan malamnya seimbang ini, musim
kering dan musim hujannya-pun (dulunya) seimbang – kita malah tidak bisa
mencukupi kebutuhan kita sendiri. Semua kebutuhan justru impor! Dari beras,
gandum, susu, daging, telur dan masih banyak lagi.
Hujan yang harusnya jadi anugrah para petani dan
menghidupkan semua jenis tumbuh-tumbuhan untuk kebutuhan kita, justru menjadi
mala petaka dan musibah.
Allah ta’ala telah berfirman, artinya:
وَمَا أَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ
أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَن كَثِيرٍ
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah
disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar
(dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS: as-Syura (42): 30)
Ummu Salamah ra menceritakan bahwa Rasulullah Saw
bersabda, “Jika timbul maksiat pada umatku, maka Allah akan menyebarkan
adzab kepada mereka. Aku (Ummu Salamah) berkata, “Wahai Rasulullah! Apakah
tidak ada waktu itu orang-orang shaleh?” Beliau menjawab, “Ada.” Aku bertanya
lagi, “Apa yang Allah akan perbuat kepada mereka?”
Beliau menjawab, “Allah akan menimpakan kepada
mereka adzab sebagaimana ditimpakan kepada orang-orang yang melakukan maksiat,
kemudian mereka akan mendapatkan ampunan dan keridhaan dari Rabb-nya.” (HR
Ahmad).*/Abdullah/Republika
Tidak ada komentar:
Posting Komentar