Mari kita
bicara tentang orang-orang patah hati. Atau kasihnya tak sampai. Atau cintanya
tertolak. Seperti sayap-sayap Gibran yang patah. Atau kisah kasih Zainuddin dan
Hayati yang kandas ketika kapal Vanderwicjk tenggelam. Atau cinta Qais dan
Laila yang membuat mereka 'majnun' lalu mati. Atau, jangan-jangan ini juga
cerita tentang cintamu sendiri, yang kandas dihempas takdir, atau layu tak
berbalas.
Itu cerita
cinta yang digali dari mata air air mata. Dunia tidak merah jambu disana. Hanya
ada Qais yang telah majnun dan meratap di tengah gurun kenestapaan sembari
memanggil burung-burung:
O burung, adakah yang mau meminjamkan sayap
Aku ingin terbang menjemput sang kekasih hati
Mari kita ikut
berbelasungkawa untuk mereka. Mereka orang-orang baik yang perlu dikasihani.
Atau jika mereka adalah kamu sendiri, maka terimalah ucapan belasungkawaku, dan
belajarlah mengasihani dirimu sendiri.
Di alam jiwa,
sayap cinta itu sesungguhnya tak pernah patah. Kasih selalu sampai di sana.
"Apabila ada cinta di hati yang satu, pastilah ada cinta dihati yang
lain," kata Rumi, "sebab tangan yang satu takkan bisa bertepuk tanpa
tangan yang lain." Mungkin Rumi bercerita tentang apa yang seharusnya.
Sementara kita menyaksikan fakta lain.
Kalau cinta berawal dan berakhir pada Allah, maka cinta
pada yang lain hanya upaya menunjukkan cinta pada-Nya, pengejawantahan ibadah
hati yang paling hakiki: selamanya memberi yang bisa kita berikan, selamanya
membahagiakan orang-orang yang kita cintai. Dalam makna memberi itu posisi kita
sangat kuat: kita tak perlu kecewa atau terhina dengan penolakan, atau lemah
dan melankolik saat kasih kandas karena takdir-Nya. Sebab disini kita justru
sedang melakukan sebuah "pekerjaan jiwa" yang besar dan agung:
mencintai.
Ketika kasih
tak sampai, atau uluran tangan cinta tertolak, yan sesungguhnya terjadi
hanyalah "kesempatan memberi" yang lewat. Hanya itu. Setiap saat
kesempatan semacam itu dapat terulang. Selama kita memiliki cinta, memiliki
"sesuatu" yang dapat kita berikan, maka persoalan penolakan atau
ketidaksampaian jadi tidak relevan. Ini hanya murni masalah waktu. Para
pencinta sejati selamanya hanya bertanya: "Apakah yang akan
kuberikan?" Tentang kepada "siapa" sesuatu itu diberikan, itu
menjadi sekunder.
Jadi kita hanya
patah atau hancur karena lemah. Kita lemah karena posisi jiwa kita salah.
Seperti ini: kita mencintai seseorang, lalu kita menggantungkan harapan
kebahagiaan hidup dengan hidup bersamanya! Maka ketika dia menolak untuk hidup
bersama, itu lantas menjadi sumber kesengsaraan. Kita menderita bukan karena
kita mencintai. Tapi karena kita menggantungkan sumber kebahagiaan kita pada
kenyataan bahwa orang lain mencintai kita!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar