Keagungan.
Keluruhan. Ketinggian. Hanya itu yang ada pada misi cinta. Romantika juga ada.
Tapi tetap dalam bingkai itu. Kita sebut romantika perjuangan. Seperti ketika
kita memandang indahnya pelangi yang menggores langit. Mengagumkan. Mempesona.
Tapi ada jarak. Itu keindahan yang dilukis oleh nilai: kekuatan yang
memvisualisasi sisi malaikat dari dalam diri kita diatas kanvas kenyataan, lalu
melegenda dalam riwayat sejarah.
Tapi manusia
tercipta dari tanah. Dan tanah punya tabiatnya sendiri. Juga punya rasa, punya
mau, punya hajatnya sendiri. Juga punya permintaannya sendiri dari asal usul
ini, kehidupan manusia tersublimasi menjadi riwayat yang rumit dan kompleks.
Begitu juga cinta yang lahir dari sini. Kalau dalam cinta misi perasaan
bergerak mengikiti pikiran dan nilai, dalam cinta perasaan dan jiwa bergerak
memenuhi kebutuhannya sendiri. Kebutuhan akan kegenapan. Kebutuhan akan
kesatuan.
Sendiri. Sepi.
Itu musuh jiwa manusia. Sebab alam ini termasuk kita tercipta berpasangan.
Begitu juga: kita semua punya pasangan hidup dalam perkawinan dan pasangan
sosial dalam bermasyarakat. Perjalanan menemukan pasangan jiwa adalah kebutuhan
eksistensial. Sampai kita menembus ruang dan waktu yang panjang: sebab
keterpisahan ini, kata Rumi, hanya tipu daya waktu.
Sebab ia lahir
dari kebutuhan akan kegenapan dan kesatuan, maka cinta jiwa masyarakatnya
adalah penerimaan. Tidak ada pertemuan tanpa penerimaan. Syarat ini tidak
selalu ada dalam cinta misi. Tapi syarat ini pula yang membuat cinta jiwa jadi
rumit. Sebab asa penerimaan jiwa disini juga beragam. Ada faktor keseimbangan.
Seperti dua sungai besar yang bertemu dalam samudra yang sama lalu menciptakan
gelombang cinta yang dahsyat. Itu cinta yang lahir dari kesamaan.
Atau lidah api
yang menyala-nyala namun dipadamkan oleh air yang sejuk. Cinta yang ini lahir
dari kebutuhan dan kesimbangan. Atau seperti air bening yang mengaliri lahan
tanah yang subur lalu melahirkan taman kehidupan yang indah. Ini kegenapan jiwa
yang melahirkan cinta.
Kerumitannya
terletak pada pencarian “meeting point” dari dua jiwa. Itu ada pada kesamaan
atau kegenapan atau keseimbangan antara dua karakter. Hampir tidak ada
pertemuan jiwa diluar ketiga meeting point itu. Bayangkanlah bila terjadi
sebaliknya. Api bertemu angin menciptakan kebakaran yang ganas. Air bertemu
angin melahirkan gelombang tsunami.
Baik dalam
perkawinan atau perkawanan kita menemukan kerumitan itu. Itu masalah kecocokan.
Sebab harus ada dua tangan untuk bisa bertepuk. Dua jiwa hanya mungkin bertemu
dan menyatu kalau hajat mereka sama. Hikmah itulah yang disampaikan Rasulullah
saw, “jiwa-jiwa itu ibarat prajurit-prajurit yang dibaris-bariskan. Yang paling
mengenal diantara mereka pasti akan saling melembut dan menyatu. Yang tidak
saling mengenal di antara mereka pasti akan saling berbeda dan berpisah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar