Halaman

Jumat, 29 Maret 2019

PENYULUHAN KEHUTANAN


A.  Defenisi Penyuluhan Kehutanan
Konsep Penyuluhan
Kehadiran penyuluhan di Indonesia sebagai bidang kegiatan, sebenarnya sudah berlangsung hampir dua abad yang lalu, yakni sejak didirikannya Kebun Raya Bogor oleh Reinwardt pada tahun 1817, tetapi kehadirannya sebagai cabang keilmuan, sebenarnya belum lama.
Meskipun demikian, ilmu penyuluhan itu sendiri sebenarnya sudah lama dikembangkan. Menurut catatan sejarah, di Scotlandia Pengembangan ilmu penyuluhan sudah dirintis sejak tahun 1723 (True, dalam Swanson dan Clear, 1984).  Sehubungan dengan itu, konsep tentang penyuluhan terus mengalami perkembangan. Shukla (1972) misalnya, sedikitnya telah menyampaikan adanya 15 konsep.
Pengertian tentang penyuluhan memang sangat sulit dirumuskan, karena menyangkut banyak tujuan dan kepentingan. OIeh sebab itu, setiap orang dapat memberikan konsepnya sendiri, sesuai dengan latar belakang keilmuan dan kepentingan yang ada padanya.

a.  Penyuluhan sebagai Proses Penyebarluasan informasi
Istilah penyuluhan, pada dasarnya diturunkan dan kata “Extension” yang dipakai secara meluas di banyak kalangan (Amri Jahi, 1984). Extension itu sendiri, dalam bahasa aslinya dapat diartikan sebagai perluasan atau penyebarluasan.  Dengan demikian penyuluhan dapat diartikan sebagai:
“Proses penyebarluasan informasi yang berkaitan dengan upaya peningkatan produktivitas, pendapatan dan perbaikan kesejahteraan keluarga masyarakat”
Yang dimaksud proses penyebaran informasi di dalam penyuluhan, sebenarnya tidaklah sekedar penyampaian informasi, tetapi terkandung maksud yang lebih jauh, yakni untuk dipahami, dikaji, dianalisis, dan diterapkan, dilaksanakan oleh semua pihak yang terkait dalam pembangunan, sampai terwujudnya tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh pembangunan itu sendiri (yang berupa peningkatan produk, pertambahan pendapatan, keuntungan usaha, dan perbaikan kesejahteraan keluarga, masyarakat).
b. Penyuluhan sebagai Proses Penerangan
Dalam bahasa Indonesia, istilah penyuluhan berasal dan kata dasar “Suluh” yang berarti pemberi terang di tengah kegelapan (Totok Mardikanto dan Sri Sutarni, 1982).  Dengan demikian, penyuluhan dapat diartikan sebagai:
“Proses untuk memberikan penerangan kepada masyarakat (petani) tentang segala sesuatu yang beIum diketahui (dengan jelas) ”untuk dilaksanakan, diterapkan dalam rangka peningkatan produksi dan pendapatan/keuntungan yang dicapai melalui proses pembangunan”.
Namun perlu diingat bahwa, penerangan yang dilakukan tidaklah sekedar memberikan penerangan”, tetapi penerangan yang dilakukan selama penyuluhan harus terus menerus dilakukan sampai betul-betul diyakini (oleh juru penerang/penyuluh) bahwa segala sesuatu yang diterangkan tadi benar-benar telah dipahami, dihayati, dan dilaksanakan oleh masyarakat sasarannya.
c. Penyuluhan Sebagai Proses Perilaku
Di atas sudah disampaikan bahwa, penyuIuhan” tidak sekedar memberi tahu atau “menerangkan”. Dalam kaitan ini, tujuan yang sebenarnya dan penyuluhan adalah terjadinya perubahan perilaku sasarannya, yang merupakan perwujudan dari pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang dapat diamati secara Iangsung maupun tidak Iangsung dengan indera manusia (Margono Slamet, 1979).
Dengan demikian, penyuluhan dapat diartikan sebagai:
“Proses perubahan perilaku (pengetahuan, sikap, dan keterampilan) dikalangan masyarakat, agar mereka tahu, mau dan mampu melaksanakan perubahan-perubahan demi tercapainya peningkatan produksi pendapatan keuntungan dan perbaikan kesejahteraan keluarga/masyarakat yang dicapai melalui pembangunan”
Dengan demikian melalui penyuluhan juga harus diupayakan tidak terciptanya “ketergantungan” masyarakat (petani) kepada penyuluhnya. Penyuluh sekedar sebagai fasilitator dan dinamisator untuk memperlancar proses pembangunan yang direncanakan. Dengan kata lain, melalui penyuluhan ingin dicapai suatu masyarakat yang memiliki pengetahuan luas tentang berbagai ilmu dan teknologi (yang bermanfaat bagi peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat), memiliki sesuatu (informasi) yang baru, serta terampil dan mampu berswadaya untuk mewujudkan keinginan dan harapan-harapannya demi tercapainya perbaikan kesejahteraan keluarga/masyarakatnya.
d.  Penyuluhan Sebagai Proses Pendidikan
Penyuluhan sebenarnya merupakan proses perubahan perilaku melalui pendidikan, yakni suatu perubahan perilaku yang dilatarbelakangi oleh:
a. Pengetahuan/pemahaman tentang segala sesuatu yang dinilainya Iebih baik atau bermanfaat (bagi dirinya sendiri, keluarganya, dan masyarakatnya).
b. Dengan kemauan sendiri tanpa paksaan dan pihak manapun juga (keluarga, kerabat, tetangga, sahabat, ataupun penguasa).
c. Kemampuan untuk melakukan sesuatu dan menyediakan sumberdaya (input) yang diperlukan untuk terjadinya suatu perubahan, karena itu penyuluhan sering diartikan sebagai: “
“Suatu sistem pendidikan bagi masyarakat untuk membuat mereka tahu, mau, dan mampu berswadaya melaksanakan upaya peningkatan produksi, menaikkan pendapatan dan keuangan, serta perbaikan kesejahteraan keluarga dan masyarakatnya”
Memang diakui, bahwa proses perubahan melalui pendidikan sering berlangsung sangat lambat, melelahkan dan memerlukan kesabaran, biaya, dan waktu yang Iebih besar. Hal ini berbeda dengan perubahan yang diakibatkan oleh pemaksaan yang biasanya perubahan itu berlangsung cepat, namun cepat pula kembali pada perilaku semula jika kemampuan pemaksa menurun. Perubahan yang dibentuk dan proses pendidikan/ penyuluhan akan bersifat kekal seumur hidup. Bahkan seringkali dapat mendorong terjadinya perubahan perubahan lain atau kemauan sendiri (Herman Soewardi, 1987).
Penyuluhan sebagai proses pendidikan, memiliki ciri-ciri:
1. Penyuluhan adalah sistem pendidikan luar sekolah atau di luar sistem sekolah yang:
a. Terencana dan terprogram,
b. Dapat dilakukan dimana saja, baik di dalam ruangan maupun di luar ruangan, bahkan dapat dilakukan sambil bekerja (learning by doing).
c.  Tidak terikat waktu, baik penyelenggaraan maupun jangka waktunya.
d.  Disesuaikan dengan kebutuhan sasaran.
e.  Pendidik dapat berasal dan salah satu anggota peserta didik
2.  Penyuluhan merupakan pendidikan orang dewasa, sehingga:
a. Metode pendidikan lebih banyak bersifat lateral yang saling mengisi dan berbagi pengalaman dibanding pendidikan yang sifatnya vertikal atau menggurui/ceramah (Lindeman, 1967),
b. Keberhasilannya tidak ditentukan oleh jumlah materi/informasi yang disampaikan, tetapi seberapa jauh tercipta dialog antara pendidik dan peserta didik,
c. Sasaran utamanya adalah orang dewasa (baik dewasa dalam arti biologis maupun psikologis).
d. Penyuluhan Sebagai Proses Rekayasa Sosial
Di dalam praktek, kegiatan penyuluhan tidak berdiri sendiri sebagai suatu sistem pendidikan. Kegiatan penyuluhan sering kali (bahkan selalu) harus dikaitkan dengan kegiatan-kegiatan lain, sebagai salah satu sub-sistem dan sistem pembangunan yang direncanakan.  Karena itu, pelaksanaan penyuluhan juga memerlukan pengorganisasian lengkap dengan aturan tentang hubungannya dengan sub-sistem lain.  Disamping itu, penyuluhan juga semakin berkembang sebagai salah satu upaya untuk mengatur, menggerakkan, dan mengarahkan serta menciptakan suatu sistem sosial tertentu yang beranggotakan orang-orang dengan ketentuan memiliki perilaku tertentu sesuai dengan fungsi dan peran yang harus dimainkannya di dalam sistem sosial tersebut.
Dengan kata lain, penyuluhan juga merupakan proses “rekayasa sosial”, sehingga dapat diartikan sebagai:
Proses rekayasa sosial untuk terciptanya perubahan perilaku anggota-anggota masyarakat, seperti yang dikehendaki demi tercapainya peningkatan produksi kenaikan pendapatan keuntungan, dan perbaikan kesejahteraan keluarga dan masyarakat yang bersangkutan”
Bertolak dan pemahaman di atas, pelaksanaan penyuluhan seringkali (di dalam praktek) tidak dapat terlepas dan perlakuan-perlakuan yang lebih bersifat pemaksaan. Hal ini akan mengakibatkan ketergantungan, seringkali juga justru tidak membuat masyarakat sasarannya menjadi lebih “sejahtera”
Dari berbagai pendekatan untuk memahami pokok-pokok pengertian tentang “Penyuluhan” seperti di atas, dapat disimpulkan bahwa:
1. Penyuluhan merupakan proses penyebar-luasan informasi yang diperlukan dan berkembang selama pelaksanaan pembangunan. Informasi tersebut dapat berupa: inovasi yang dihasilkan dan penelitian maupun pengalaman lapangan, masalah-masalah yang perlu memperoleh pemecahannya, maupun peraturan dan kebijakan yang ditetapkan demi terlaksananya dan tercapainya tujuan pembangunan yang direncanakan. Alur informasinya dapat bersifat vertikal dan peneliti, penyuluh, petani (dan sebaliknya), dan dapat juga bersifat horisontal antar aparat penentu kebijakan, antar peneliti, antar penyuluh, antar petani ataupun antar lembaga yang sederajat.
2.   Penyuluhan merupakan suatu sistem pendidikan luar sekolah yang tidak sekedar memberikan penerangan atau menjelaskan, tetapi berupaya untuk mengubah perilaku sasarannya agar memiliki pengetahuan yang luas, memiliki sikap progresif untuk melakukan perubahan untuk tetap melaksanakan berbagai kegiatan yang bermanfaat bagi peningkatan produktivitas, pendapatan/keuntungan, maupun kesejahteraan keluarga dan masyarakat. Penyuluhan juga berupaya agar masyarakat sasarannya mampu berswadaya memobilisasikan sumberdaya (input) yang diperlukan untuk kelangsungan dan tercapainya tujuan pembangunan yang direncanakan.
3.  Sebagai suatu sistem pendidikan luar-sekolah, penyuluhan adalah suatu pendidikan bagi orang dewasa yang lebih mengutamakan terciptanya dialog. Oleh sebab itu penyuluhan bukan merupakan pendidikan yang bersifat vertikal, yaitu pendidikan yang hanya “mencekoki” tanpa memberikan peluang kepada sasaran didik.  Mengemukakan pendapat dan pengalaman merupakan satu hal yang sangat diperlukan demi keberhasilan pembangunan.
4.  Penyuluhan sebagai proses rekayasa sosial, perlu dilaksanakan secara bijak dan hati-hati serta senantiasa mengacu kepada upaya perbaikan mutu-hidup masyarakat sasarannya, serta harus dijaga agar tidak terperangkap kepada upaya terciptanya tujuan dengan mengorbankan kepentingan masyarakat yang sebenarnya ingin diperbaiki mutu-hidupnya.
B. Perkembangan Penyuluhan Kehutanan di Negara-negara Maju
Seorang staf pengajar pada Universitas Cambridge di lnggris bernama Richard Moulton, seabad yang lalu pertama kali mengembangkan “penyuluhan”.  Pada awalnya penyuluhan ini merupakan suatu metode untuk menyebarluaskan ilmu pengetahuan dari universitas kepada warga masyarakat di luar kampus yang tidak mampu mengikuti pendidikan di universitas karena keterbatasan biaya dan waktu. Penyuluhan ini kemudian berkembang di Amerika Serikat yang selanjutnya muncul istilah bidang pertanian” walaupun sebenarnya penyuluhan bukanlah hanya monopoli bidang pertanian.
Pengertian penyuluhan di Amerika Serikat ini tidak berbeda dengan pengertian penyuluhan yang berlangsung di Inggris. Berdasarkan Undang-Undang Smith-Lever tahun 1914 di Amerika Serikat dinyatakan bahwa penyuluhan pertanian diartikan sebagai suatu pendidikan nonformal bagi masyarakat pertanian.
Seiring dengan kemajuan yang dicapai di bidang penyuluhan, baik di Inggris maupun Amerika Serikat, maka kegiatan penyuluhan ini terus menyebar ke koloni-koloni Inggris pada tahun 1920. Pada tahun-tahun berikutnya, penyuluhan ini menyebar dan berkembang di berbagai negara di Asia seperti Jepang, Phlipina, dan Korea Selatan.  Selanjutnya penyuluhan ini menyebar luas ke seluruh penjuru dunia sampal ke negara-negara yang sedang berkembang dan sedang giat melaksanakan pembangunan negaranya termasuk Indonesia.
Kegiatan yang bersifat penyuluhan di Indonesia, sebenarnya sudah berlangsung sejak dua abad yang lalu, yakni sejak didirikannya Kebun Raya Bogor oleh Reinwardt pada tahun 1817. Akan tetapi sebagai suatu cabang keilmuan yaitu bidang studi penyuluhan sebenarnya belum lama.
C. Sejarah Penyuluhan Kehutanan di Indonesia
Secara formal, kegiatan penyuluhan kehutanan sebenarnya baru terbentuk setelah terjadi pemisahan Direktorat Jenderal Kehutanan dan Departemen Pertanian, menjadi departemen tersendiri yaitu Departemen Kehutanan menjelang pelaksanaan Repelita IV pada tahun 1984.
Sejak saat itu mulai dibentuk lembaga penyuluhan kehutanan berupa Sub-direktorat Penyuluhan di Iingkungan Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan maupun di Iingkungan Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam. Selanjutnya, mulai Repelita V, kedua lembaga tersebut ditingkatkan menjadi:
1.  Direktorat Penyuluhan Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Direktur Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan (RRL).
2.  Direktorat Penyuluhan Konservasi Sumberdaya Alam, yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (PHPA).
Pada perkembangan Iebih lanjut, dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden No. 58 Tahun 1993 yang di tindaklanjuti dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 677/KPTS- II/1993 tertanggal 26 Oktober 1993, kelembagaan penyuluhan kehutanan digabung menjadi satu ke dalam wadah Pusat Penyuluhan Kehutanan yang bertanggung jawab langsung kepada Menteri Kehutanan, dan sehari-hari di bina oleh Sekretariat Jenderal Depatemen Kehutanan.
Pusat Penyuluhan kehutanan tersebut bertugas untuk melaksanakan penyuluhan kehutanan mengenai keseluruhan aspek pengelolaan hutan dan teknik kehutanan.  Lebih lanjut, seiring dengan upaya desentralisasi dan rencana pelaksanaan otonomi daerah yang dititikberatkan pada Daerah Tingkat II, sambil menunggu peraturan pemerintah yang mengaturnya, telah dikeluarkan surat keputusan menteri Kehutanan RI No. 861Kpts- II/1994 yang antara lain berisi penyerahan urusan penyuluhan kehutanan kepada Pemerintah Daerah Tingkat II. Berkaitan dengan itu, urusan penyuluhan kehutanan dilaksanakan oleh Dinas Perhutanan dan Konservasi Tanah yang telah berdasarkan Surat Keputusan bersama Menteri Kehutanan No. 52 Tahun 1994 No. 23O1Kpts-II/1994 tanggal 9 Mei 1994 dan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 061/717/Sj tanggal 15 Maret 1994.
Sejak dipisahkan dan Departemen Pertanian, sesuai dengan kebijakan yang ditempuh, upaya-upaya untuk mengembangkan institusi dan kegiatan penyuluhan kehutanan terus dilakukan baik melalui penambahan jumlah dan mutu personil maupun jumlah peralatan penyuluhan yang diperlukan.
Meskipun upaya penambahan jumlah dan mutu personil penyuluhan, baik pada jalur struktural maupun fungsional terus diupayakan, namun secara kuantitatif maupun kualitatif masih memerlukan penambahan-penambahan dan peningkatan mutu kejuruan fungsional yang dikehendaki. Dilain pihak, peralatan penyuluhan yang telah diadakan oleh masing-masing Direktorat Penyuluhan, baik yang digunakan di pusat sendiri maupun di instansi kehutanan daerah, juga masih perlu dilengkapi dan ditambah demi terselenggaranya pelaksanaan penyuluhan yang Iebih efektif.
Hasil-hasil kegiatan fisik yang nyata dan kedua Direktorat tersebut telah dapat dilihat, baik dalam bentuk produksi jasa, bentuk konstruksi, maupun bentuk rekayasa kesejahteraan masyarakat di dalam dan disekitar hutan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar