Perbaikan pada cara berpikir dimulai dengan
membersihkan pikiran-pikiran kita dari segala bentuk kebodohan (jahl), yaitu
mempercayai sesuatu yang tidak kita ketahui. Atau waham, yaitu setiap informasi yang
kandungan kebenarannya di bawah 50%. Atau keraguan (syak) yang kandungan
kebenarannya hanya 50%. Atau prasangka (zhan) yang kandungan kebenarannya antara
50% – 100%.
Hal ini disebabkan input yang salah secara
otomatis akan mengeluarkan output yang juga salah. Kita akan tetap melakukan
sesuatu berdasarkan perintah pikiran kita, walaupun informasi yang membentuk
pikiran kita adalah waham.
Kadangkala, misalnya, kita takut terhadap
sesuatu karena membayangkan yang seram-seram tentang sesuatu itu, padahal apa
yang kita bayangkan sebenarnya tidak ada dalam kenyataan.
Di sisi lain, kita mungkin marah pada
seseorang, semata-mata karena mendapatkan informasi yang buruk tentang orang
tersebut, katakanlah melalui gosip, yang kebenarannya tidak dapat
dipertanggungjawabkan.
“Sesungguhnya
prasangka itu sama sekali tidak berguna di depan kebenaran.” (QS Yunus, 10: 36)
Itulah sebabnya agama melarang kita untuk
percaya pada takhayul, khurafat, gosip, fitnah, dan lainnya. Sebab, itu semua
tidak mempunyai dasar kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan.
Kita harus membiasakan diri untuk
mengetahui sesuatu sebagaimana ia adanya, secara akurat dan objektif, dan
terbukti bahwa kandungan kebenarannya 100%. Sebab, itulah yang disebut ilmu.
Maka, berpengetahuan berarti bertindak atas
dasar kebenaran ilmiah, bertindak dengan bimbingan ilmu pengetahuan, dan
berbicara dengan muatan ilmiah.
Tidak ada sesuatu yang dapat dilakukan
secara benar, kecuali jika kita mempunyai pengetahuan yang benar tentang
sesuatu tersebut.
(Anis
Matta, Delapan Mata Air Kecemerlangan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar