Saya pertama kali bertemu dengan perempuan
itu kira-kira dua minggu yang lalu. Hampir
saya berteriak kaget ketika masuk ke dalam angkutan KWK 02 dan bertubruk
pandang dengannya. Apalagi tak seorang
pun ada dalam angkutan jurusan Cililitan-Cilangkap itu.
Waktu menunjukkan pukul 22.00. Malam pekat. Saya pulang dari TIM. Usai rapat dengan teman-teman
Dewan Kesenian Jakarta. Saya memang
sengaja tak naik taksi, agar bisa lebih hemat. Ah, saya menarik napas tak panjang. Perempuan itu tak berkedip menatap saya. Saya membuang wajah ke jalan raya, tak mau membalas
menatap. Ya Allah, siapa dia? Kapan ia turun? Dimana ia
turun? Ada apa dengannya? Pertanyaan
pertanyaan itu berkecamuk di benak saya.
Apakah ia gila? Mau menodong? Apa ia akan mebayar ongkos? Atau perlu
saya bayari.
Akhirnya, setelah cukup lama berdua-dua di angkot, perempuan itu pun turun di depan Panti Jompo, Cipayung. Entah mengapa saya merasa lega sekali.
Setelah kejadian tersebut saya masih
beberapa kali bertemu perempuan itu.
Sukar bagi saya mengambarkan sosoknya.
Ia legam dan sedikit bungkuk.
Badan pendek. Seolah bersisik.
Rambutnya pendek dan acak-acakan, sepertinya tak pernah disisir. Matanya bulat seolah mau keluar dari
kelopak. Bibir sumbing sedang giginya
panjang tak beraturan. Ia memakai baju
kumal yang membuatnya semakin kusam saja.
Pergelangan tangannya dipenuhi karet gelang berwarna-warni.
Dua kali saya bertemu dalam angkot. Pertama
hanya berdua, dan berikutnya beramai-ramai dengan 6-7 orang lainnya. Semuanya tak ada yang ‘berani’
melihatnya. Ia seperti orang yang entah
datang dari mana dan terus menatapi para penumpang satu persatu. Malah setelah ia turun dari kendaraan,
seorang lelaki berkata,”gila, saya kira ‘penampakan’! serem banget tuh
perempuan!”
Setelah pertemuan kedua, entah mengapa saya
mulai berpikir bahwa ia hanyalah perempuan biasa seperti juga saya. Ia mungkin bekerja di suatu tempat
sebagaimana saya. Wajahnya memang seram,
namun bukankah ia tak pernah sekalipun menganggu?
Hari berikutnya, KWK 02 yang saya naiki
dari Cililitan, dipenuhi penumpang. Saya
melihat perempuan itu naik dari Kramat Jati. Begitu ia hadir, hampir semua penumpang buang
muka atau menunduk. Pokoknya tak mau
melihat, dan kalau bisa tak dekat dengannya.
Ia masuk, mengangguk pada saya. Saya terpana dan membalas anggukannya. Tak lama seorang ibu-yang tampak terpelajar membagi-bagikan
brosur dalam angkot. “Ada lowongan kerja di perusahaan saya. Langsung daftar aja. Gajinya lumayan, loh,” katanya. Semua orang mendapat brosur, tapi tidak
perempuan itu.
Tiba-tiba saya merasakan sesuatu di batin
saya. Mengapa ibu itu tak memperlakukan
wanita tersebut sederajat dengan penumpang yang lain? Apa karena ia buruk rupa?
Apa karena ia tak pantas, meski sekedar memegang brosur wangi itu? Lantas
mengapa jadi saya sedih?
Entah dari mana, tiba-tiba saya sudah
menyapa perempuan ‘aneh’ itu. “Kemana, Mbak?
Kita sudah beberapa kali bertemu ya? Inggat ngak?” sapa saya.
Beberapa orang di dalam angkot nyaris
terbelalak memandang saya seakan-akan saya adalah orang aneh lainnya disana. Saya tersenyum saja.
“Iya Mbak.
Saya mengenali Mbak,” tuturnya sopan.
“Saya juga,” saya tertawa. “Mbak dari mana? Kerja atau…?”
Saya mencoba tak mempersoalkan
wajahnya. Ya Allah, hanya Engkau yang
sempurna. Kami hanya sesama
hamba-Mu. Tak ada yang lebih di mataMU
dari kami, selain takwa kami. Sungguh,
siapa menjamin saya lebih baik dari perempuan ini?
Tak lama kami sudah mengobrol dengan
asyik. Perempuan itu bercerita, ia
menjaga anak kakaknya bila sang kakak pergi bekerja. “Kakak saya yang mengaji
saya,” katanya tertawa. Ia hampir setiap
malam naik angkutan 02.
Lalu kami ngobrol soal hujan, banjir, soal
Panti Balita dan Panti Jompo di dekat rumahnya, hingga soal tsunami. Saya sampai kaget sendiri bisa sejauh itu.
Tak lama, perempuan tersebut bersiap
turun. Namun apa yang ia katakan sebelum
sosoknya berlalu, tak mungkin bisa saya lupakan.
“Semoga Allah menjaga Mbak. Saya senang akhirnya ada orang yang mau negur
saya, yang ngajak ngomong di angkot.
Terima kasih ya.
Assalamu’alikum,” suaranya bergetar seperti ingin menangis.
Kata-kata perempuan itu berhamburan bersama
angin. Namun saya sempat menangkapnya
dan sesuatu terasa “nyes” di hati. Orang-orang
dalam kendaraan itu tak ambil pusing.
“Gila nggak sih cewek itu?” celetuk seorang pemuda pada saya.
Saya menggeleng. Benar-benar menggeleng untuk beberapa detik.
Pada akhirnya saya tahu betapa berarti,
betapa mewah-nya sebuah sapa. Bukankah
sapa adalah salah satu bentuk penghargaan kita terhadap orang lain? Maka apa
yang menghalangi kita untuk lebih sering menyapa? Bukan hanya pada mereka yang
kita kenal, yang kebanyakan necis dan wangi.
Namun juga menyapa mereka, yang tanpa sadar telah kita sisihkan dari
jalan yang selama ini kita lalui.
Hari ini saya yakin, Mbak Sri, perempuan
itu, bukan orang aneh. Ia hanya
perempuan yang memendam rindu bertahun-tahun lamanya, demi sebuah sapa yang kau
ucapkan di malam dingin. (Helvy Tiana Rosa).
Sumber:
Buku Risalah Cinta Untukmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar