Cantik. Muda. Berpendidikan. Berpenghasilan. Demikian rata-rata kriteria perempuan yang
akan dijadikan istri kedua, entah ia masih gadis ataupun janda. Berbeda dengan
istri pertama yang sederhana, polos, lugu; biasanya istri kedua bertolak
belakang dari istri pertama.
Benarkah?
Polemik Poligami
Persoalan poligami akan selalu pro kontra,
tak akan pernah ada kata sepakat, apalagi bila pendapat lelaki dan perempuan
dibenturkan. Perempuan beranggapan lelaki mau enak sendiri, lelaki
beranggapan perempuan tidak memahami
syariat. Persoalan semakin pelik jika poligami sudah melibatkan kontak emosi
terlalu jauh : seorang suami yang tidak dapat curhat kepada istrinya lalu
menemukan perempuan lain yang kebetulan cocok menjadi teman curhatnya. Atau,
seorang suami menemukan istri yang selama ini diimpikannya, hal yang tidak
didapatkannya dari istri pertama.
Secara alamiah, lelaki memliki instink petualang, melebihi
perempuan. Perempuan paling energik dan sangat bebas sekalipun, seiiring
posisinya sebagai istri dan ibu pada akhirnya akan mengakhiri masa
adventuringnya. Mendekam di rumah
menikmati fitrah sebagai istri, ibu ,
pendidik, pengasuh, tukang masak dan seterusnya. Lelaki, walau bertanggung
jawab terhadap kebutuhan nafkah keluarga; tetap memiliki semangat
berpetualang. Ada lelaki yang teap suka
main bola, naik gunung, jalan-jalan, hang out dengan teman-temannya, nonton
keluar. Walau ia seorang family man sekalipun, sisi adventuring itu tidaklah
hilang.
Bila kebiasaan adventuring ini mendapatkan
pelepasan semestinya, biasanya ia tidak membutuhkan lagi petualangan cinta.
Misal, ia aktif di organisasi, yayasan, sibuk mengejar karir, terlibat aktif
mengasuh anak-anak maka energinya akan tersalur. Namun dalam kejenuhan dan keterdiaman, lelaki bisa
memulai petualangan cinta.
Lha,
apa hubungannya dengan poligami?
Poligami ala
Rasulullah Saw dan orang-orang shalih.
Rasulullah saw menikah lagi setelah bunda
Khadijah wafat. Pernikahan beliau rata-rata mengambil janda yang sudah tua. Pernikahan dengan
perempuan muda nan cantik antara lain terjadi terhadap Aisyah dan Shofiyyah. Meski demikian, visi
misi pernikahan beliau tidaklah bergeser dari kepentingan dakwah dan tentu
sesuai syariah.
Sultan Murad menikahi Huma Khatun ( Ibunda
Al Fatih) sebagai istri ketiga, juga karena alasan politik. Selain alasan
politik, Sultan Murad mampu mengkondisikan istri-istrinya untuk taat kepada
Allah. Bacaan al Quran senantiasa
menemani hari-hari mereka;begitupun pertempuran-pertempuran jihad mengisi
hari-hari Sultan Murad.
Poligami sekarang
Sebetulnya, tidak ada keharusan lelaki harus
menikah lagi dengan perempuan yang lebih tua. Harus janda. Beranak banyak.
Jelek pula. Tidak ada satu ayatpun dalam Quran dan Hadits yang melarang lelaki
menikahi perempuan disebabkan kelebihan-kelebihan yang ada padanya.Apakah haram
menikahi perempuan pintar? Tidak. Apakah haram menikahi perempuan cantik? No.
Apakah haram menikahi perempuan muda? Haram menikahi perempuan berpenghasilan
dan kaya? Tidak dan tidak.
Dua jalan
Silakan saja mencari istri pertama yang
pintar, kaya, cantik, muda. Silakan
mencari istri kedua yang seperti itu juga. Ketiga dan keempat juga dengan
kriteria yang sama.
Lalu
apa masalahnya?
Masalahnya
adalah bila visi misi bergeser.
Dulu, menikah dengan istri pertama dalam
kondisi serba kekurangan. Maklum, baru lulus kuliah. Penghasilan hanya berapa
ratus ribu. Kontrakan rumah petak yang banjir
dan bau. Yang dicari adalah perempuan yang tahan banting : mau
bagaimanapun rupa dan bentuknya. Mau bagaimanapun asal keluarga dan kondisi
keuangannya.
Dua puluh tahun kemudian , atau lima belas
tahun, atau malah baru sepuluh dan lima tahun;ketika kondisi keuangan membaik.
Si pemuda culun yang sederhana dulu berubah menjadi lelaki yang gagah dan
berkharisma. Keuangan membaik dengan
status mapan dan kedudukan terhormat : suami dengan istri dan sekian anak,
rumah disini, kendaraan ini.
Ketika hasratnya untuk memiliki istri kedua
muncul, biasanya ia tidak lagi memilih seperti istri pertama yang apa adanya.
Setidaknya yang kedua hadir disaat posisinya mapan, maka ya, haruslah perempuan
yang lumayan. Lumayan parasnya. Lumayan pendidikan dan keuangannya. Perkara
istri pertama sakit hati dan anak-anak tak mengerti dengan pilihan sang kepala
keluarga : itu urusan kesekian.
Membenci
syariat?
Jika perempuan menolak poligami, jangan
serta merta mengatakannya : nggak mau patuh ya sama perintah Allah? Nggak mau
taat syariat ya? Mau menolak isi Quran?
Maka, meski hati patah dan sakit
luarbiasa, pilihan poligami terpaksa
dijalankan. Apapun konsekuensinya. Kalau nanti istri pertama sakit-sakitan,
dikira tidak ikhlas. Kalaupun menerima dengan hati lapang, sepanjang jalan
pernikahan pastilah akan tumbuh beragam persoalan yang kadang-kadang, tertuding
lagi perempuan. Ini gara-gara istri pertama gak mau mengalah. Ini gara-gara
istri kedua ngelunjak.
Lelaki
adalah Qowwam
Lelaki adalah peimpin bagi dirinya, istri,
anak-anaknya. Keluarganya. Ummatnya. Pernikahan haruslah membangun mahligai
yang sakinah mawaddah warrahmah. Seharusnya, lelaki yang memiliki logika lebih
dari perempuan memprediksi apa yang akan terjadi ke depan.
Menikahi istri kedua berusia 25 tahun saat
istri pertama 45 tahun, apa dampaknya? Bila istri pertama merelakan, apa yang
harus disiapkan suami? Apa kesepakatan yang harus ditegakkan antara istri
pertama dan kedua? Bagaimana tentang maisyah? Bila istri kedua memiliki
pegnhasilan besar, seorang pengusaha atau wanita karir; bukan berarti kewajiban
nafkah sang Qowwam teralihkan, bukan?
“Nanti
pembagian nafkah bagaimana?” istri pertama bertanya cemas, mengingat kebutuhan
anak-anak.
“Tenang,
dia bepekreja dan berpenghasilan kok,” jawab suami, menjelaskan si kedua
Lantas,
dimana sikap ke qowwamannya jika ia memilih istri yang mapan dan merasa tidak
punya kewajiban menafkahi?
Tak Bisa Berbagi
Hati
Rasulullah saw memang lebih mencintai
Aisyah. Aisyah dan Shafiyyah pun pernah berselisih. Aisyah dan Hafsah pun
pernah berselisih. Tak akan pernah persoalan hati dan emosi dapat ditimbang
dengan rasio.
Meski, pengakuan beberapa lelaki menyatakan,
cinta terhadap istri pertama dan kedua bukan seperti membagi hati ( seperti
mencintai anak 1, 2, 3, 4 dst tetap sama besarnya) ; kecenderungan itu pastilah
ada.
Cenderung terhadap istri pertama yang telah
berkorban waktu, tenaga, hati, pikiran dan semua yang dimiliki. Atau cenderung
terhadap istri kedua yang cenderung ‘baru’ : baru sebagai teman, baru sebagai
kekasih, baru sebagai pasangan.
Percayalah,
kecenderungan itu pasti muncul.
Siapkah laki-laki
jujur dan menanggung konsekuensinya?
Beberapa berjanji, tak akan meninggalkan
anak-anak ketika memiliki istri yang berikut; nyatanya tak selalu kondisi
ekonomi stabil . Keharusan mencari nafkah bagi dua istri menyebabkan waktu
semakin tersita. Dua dapur dan dua keluarga tentu membutuhkan lebih banyak
supplai finansial. Belum lagi perselisihan yang menguras emosi. Antar kedua
istri, antar kedua keluarga, antar anak-anak. Ujung-ujungnya, poligami yang
disalahkan : tuh kan, anak-anaknya nakal. Keluarga morat marit. Bapaknya kawin
lagi sih!
Lalu
bagaimana?
Bila, memang poligami akan dilakukan,
bisakah seorang suami menceritakan secara jujur apa yang nanti akan terjadi :
keuangan, waktu, urusan ranjang, kecenderungan hati, anak-anak dan seterusnya?
Bila berkomitmen akan bertanggung jawab
terhadap segala konsekuensi, bisakah ia menepati janji-janjinya?
Dan bila ingin seperti Rasulullah Saw,
bisakah istri kedua adalah gadis-gadis yang sudah sangat matang dalam
kesendirian. Janda-janda beranak banyak yang kurang mampu. Perempuan-perempuan
tak cantik yang memang tidak dilirik laki-laki.
Bisakah sang istri
pertama tetap perempuan yang jauh lebih cantik, lebih muda, lebih terhormat?
Atau mau jujur bahwa dalam petualangan kali
ini, pernikahan disimbolkan demikian :
istri pertama untuk keprihatinan, istri kedua untuk bersenang-senang. Kalau
demikian halnya, janganlah membawa nama sunnah rasulullah saw sebagai alasan
poligami.
Sebab sunnah Rasulullah juga berbareng
dengan kewajiban untuk menghargai ibu dari anak-anak; perempuan yang berbakti
terhadap suami, istri yang sehari-hari menyisihkan seluruh kepentingan
pribadinya untuk suami tercinta.
(SINTA
YUDISIA)
Sumber:
https://sintayudisia.wordpress.com/2016/09/06/kriteria-istri-kedua/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar