Perilaku makan adalah penampakan tingkah
laku dalam kaitanya dengan aktivitas makan. Aktivitas makan itu sendiri
merupakan bagian dari aktivitas harian. Perilaku makan pada makhluk hidup
mencakup semua proses konsumsi bahan makanan yang bermanfaat dalam bentuk padat
atau cair. Perilaku makan binatang bervariasi baik lamanya makan maupun
frekuensi tingkah laku pada saat makan (Hailman 1985).
Perilaku makan merupakan salah satu
perilaku yang penting bagi satwa liar, perilaku makan akan menentukan
kelestarian satwa liar baik secara langsung maupun tidak langsung. Salah satu
jenis satwa liar yang kelestariannya tergantung pada perilaku makannya, yaitu
burung angsa batu topeng. Angsa batu
topeng merupakan salah satu predator laut yang perilaku mencari makannya sangat
bergantung pada distribusi, Kelimpahan dan keandalan mangsanya.
Tulisan ini akan mengkaji mengenai aspek
perilaku makan kaitannya dengan konservasi burung angsa batu topeng. Perilaku makan yang dibahas pada tulisan ini
berdasarkan hasil penelitian Sommerfeld J. et. al tahun 2015.
Penyebaran,
morfologi, Kebiasaan dan taksonomi.
Burung angsa batu topeng merupakan jenis
burung yang penyebarnnya tersebar luas diseluruh dunia, terutama pada daerah
dekat dengan laut meliputi Karibian dan Samudera Atlantik barat-daya dan
berbiak di daerah tersebut. Di
Indonesia, tercatat di Sumatera (selat Malaka dan Selat Sunda), Kalimantan
bagian utara, serta lepas pantai Jawa bagian selatan. Angsa batu topeng berukuran besar (85 cm),
berwarna hitam dan putih. Buku umumya putih, kecuali ekor, bulu primer, bulu
sekunder, dan muka topengnya yang rapi berwarna hitam. Kulit muka hitam-biru.
Remaja: kepala dan tubuh bagian atas coklat, kerah putih, tubuh bagian bawah
putih dengan pola garis hitam pada sayap bawah.
Iris kuning, paruh dan kaki kuning atau kehijauan (http://www.kutilang.or.id/2012/12/25/angsa-batu-topeng/).
Burung ini mempunyai kebiasaan terbang
rendah di atas laut dengan kepakan sayap yang lurus dan kuat, biasanya
membentuk formasi acak. Terbang dalam kelompok, membentuk awan, berputar bila
menemukan mangsa. Kadang-kadang mengunakan kapal untuk beristirahat (http://www.kutilang.or.id/2012/12/25/angsa-batu-topeng/).
Jenis burung ini merupakan salah satu
jenis burung yang dilindungi oleh pemerintah melalui UU No. 5/1990 dan PP No.
7/1999. Red List IUCN memasukan jenis ini ke dalam kategori Least Concern (LC) sejak tahun 2010
hingga saat ini. Sebelumnya jenis ini dimasukan ke dalam kategori Not Recognized (NR) dari tahun 1988-
2008. (http://www.iucnredlist.org/details/22736173/0).
Berdasarkan taksonomi, jenis ini
dimasukan ke dalam:
Ordo :
Pelecaniformes
Famili :
Sulidae
Genus :
Sula
Jenis :
Sula dactylatra
Perilaku makan
Berdasarkan hasil penelitian Sommerfeld
J. et. al (2015) menunjukkan bahwa burung Angsa Batu topeng membesarkan anaknya
menyesuaikan perilaku mencari makannya pada musim berbiak berdasarkan lokasi
mencari makan dan berada dekat koloni. Hasil penelitian ini juga mengungkapkan bahwa
angsa batu topeng berasosiasi dengan dengan tepi laut yang dangkal dimana
tingkat pertemuan lebih besar terjadi dengan mangsa yang mudah terlihat. Faktor fisik, seperti upwelling, secara lokal
dapat meningkatkan produksi primer.
Individu burung angsa batu topeng
mengetahui dimana dan kapan untuk menemukan mangsa dalam rentang pencarian
potensial mereka kembali ke habitatnya, sehingga memaksimalkan efisiensi bahan
makanan. Secara teori perjalanan ke
tempat mencari makan yang jauh akan meningkatkan biaya baik dari segi waktu dan
energi, oleh karena itu biaya yang timbul harus dikompensasikan pada kualitas
mangsa yang didapatkan (mangsa yang terbaik) (Orians and Pearson, 1979;
Stephens Dan Krebs, 1986 dalam
Sommerfeld J 2015).
Namun, berdasarkan hasil penelitian ini
burung angsa batu topeng tidak hanya menerima kenaikan biaya terkait dengan
perjalanan mencari makan jauh, burung juga menerima risiko mencari makan di
lingkungan dimana pertemuan dengan mangsa kurang dapat diprediksi.
Burung mencari mangsa di daerah yang
jauh, yang mengindikasikan bahwa makanan yang kurang menguntungkan. Meskipun terdapat konsentrasi klorofil yang
lebih tinggi di daerah setempat merupakan indikasi sebuah upwelling, namun
dengan mangsa yang lebih kecil, sehingga burung angsa batu topeng akan melakukan
perjalanan jauh untuk individu dewasa, sedangkan individu muda akan melakukan
perjalanan lokal yang tidak jauh dari habitatnya. Perjalanan jauh dan lokal yang dilakukan oleh
individu muda dan dewasa diketahui masih dalam batas toleransi ekologis mereka
(Sommerfeld J et. al 2014).
Hasil tersebut sesuai dengan hasil
Penelitian lainnya yang menunjukkan bahwa burung laut lainnya mampu
menyesuaikan perilaku mencari makan mereka dengan perubahan distribusi mangsa
atau berkurangnya ketersediaan mangsa yang disukai. Namun, ada batas toleransi
eko-fisiologis yang jelas untuk menyesuaikan diri dengan perubahan dalam
perilaku mencari makan terhadap mangsa yang tidak menguntungkan, berpengaruh
negative terhadap reproduksi dan mengancam kelangsungan hidup individu dewasa
dari burung angsa batu topeng (Arcos dan Oro, 1996; Litzow et al., 2002;
Enstipp et al., 2007; Harding et al., 2007; Grémillet dan Boulinier, 2009 dalam Sommerfeld J 2015).
Konservasi
Berdasarkan hasil penelitian tersebut
diketahui ketika berbiak burung angsa batu topeng menyukai daerah tepi dimana
mangsa yang mudah terlihat dibandingkan dengan daerah jauh yang kepastian
pertemuan dengan mangsa utama tidak dapat diprediksi. Namun, ketika jumlah sumber makanan
berkurang, maka individu dewasa akan melakukan perjalanan jauh guna mencari
mangsa utama, sedangkan individu muda melakukan perjalanan lokal yang
berdekatan dengan habitat mereka.
Individu dewasa yang melakukan perjalanan jauh, ketika tidak mendapatkan
mangsa utamanya berupa ikan pelagis, maka akan mencari pakan alternatif berupa
cumi-cumi dan ikan terbang. Perubahan
sumber mangsa akan menambah biaya mendapatkan mangsa, seperti mendapatkan cumi-cumi
akan memaksa burung angsa batu untuk menyelam lebih dalam dikarenakan cumi-cumi
beraktifitas lebih dalam dibandingkan dengan ikan pelagis yang menjadi sumber
pakan utamanya. Perubahan-perubahan
tersebut masih dalam batas toleransi mereka, namun perubahan sumber pakan yang
tidak dapat ditoleransi diperkirakan akan mengancam kelestarian mereka. Kurangnya jumlah maupun kualitas mangsa
diketahui berakibat negatif terhadap reproduksi mereka. Sehingga, factor ketersediaan mangsa
merupakan salah satu factor yang mempengaruhi kelestarian angsa batu. Keberadaan mangsa diketahui berkaitan erat
dengan Pemanasan global dan perubahan
suhu di laut. Kedua factor tersebut menyebabkan
mangsa utama angsa batu topeng semakin sulit diprediksi. Sehingga burung angsa batu akan semakin
menambah biaya mencari makannya dibandingkan kondisi sebelumnya. Biaya tersebut akan semakin bertambah dengan
sulitnya mendapatkan mangsa alternatif yang diketahui keberadaannya semakin
sulit diprediksi akibat pemanasan global (Garthe et al., 2011).
Pentingnya sumber dan kualitas mangsa
bagi kelestarian burung angsa batu topeng, menjadikan factor pemanasan global
yang berpengaruh terhadap mangsa utama maupun mangsa alternatif burung angsa
batu topeng, harus menjadi salah satu focus utama guna aksi konservasi dari
burung angsa batu topeng.
DAFTAR PUSTAKA
Hailman
JP. 1985. Behavior. In Ornithology in
Laboratory and Fields. 5th Ed. Academic Press, Inc., New York.
Sommerfeld
J, Kato A, Coudert YP, Garthe S, Wilcoxe C, Hindell MA. 2015.
Flexible foraging behaviour in a marine predator, the Masked booby (Sula
dactylatra), according to foraging locations and environmental conditions. Journal of Experimental Marine Biology and
Ecology. 463:79–86
Garthe S,
Montevecchi WA, Davoren GK. 2011. Inter-annual changes in prey fields trigger
different foraging tactics in a large marine predator. Limnol Oceanogr. 56: 802–812.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar