Halaman

Selasa, 23 Mei 2017

PERILAKU MAKAN DAN KONSERVASI BURUNG ANGSA BATU TOPENG (Sula dactylatra Lesson, 1831)



Perilaku makan adalah penampakan tingkah laku dalam kaitanya dengan aktivitas makan. Aktivitas makan itu sendiri merupakan bagian dari aktivitas harian. Perilaku makan pada makhluk hidup mencakup semua proses konsumsi bahan makanan yang bermanfaat dalam bentuk padat atau cair. Perilaku makan binatang bervariasi baik lamanya makan maupun frekuensi tingkah laku pada saat makan (Hailman 1985). 
Perilaku makan merupakan salah satu perilaku yang penting bagi satwa liar, perilaku makan akan menentukan kelestarian satwa liar baik secara langsung maupun tidak langsung. Salah satu jenis satwa liar yang kelestariannya tergantung pada perilaku makannya, yaitu burung angsa batu topeng.  Angsa batu topeng merupakan salah satu predator laut yang perilaku mencari makannya sangat bergantung pada distribusi, Kelimpahan dan keandalan mangsanya.

Tulisan ini akan mengkaji mengenai aspek perilaku makan kaitannya dengan konservasi burung angsa batu topeng.  Perilaku makan yang dibahas pada tulisan ini berdasarkan hasil penelitian Sommerfeld J. et. al tahun 2015.
Penyebaran, morfologi, Kebiasaan dan taksonomi.
Burung angsa batu topeng merupakan jenis burung yang penyebarnnya tersebar luas diseluruh dunia, terutama pada daerah dekat dengan laut meliputi Karibian dan Samudera Atlantik barat-daya dan berbiak di daerah tersebut.  Di Indonesia, tercatat di Sumatera (selat Malaka dan Selat Sunda), Kalimantan bagian utara, serta lepas pantai Jawa bagian selatan.   Angsa batu topeng berukuran besar (85 cm), berwarna hitam dan putih. Buku umumya putih, kecuali ekor, bulu primer, bulu sekunder, dan muka topengnya yang rapi berwarna hitam. Kulit muka hitam-biru. Remaja: kepala dan tubuh bagian atas coklat, kerah putih, tubuh bagian bawah putih dengan pola garis hitam pada sayap bawah.  Iris kuning, paruh dan kaki kuning atau kehijauan (http://www.kutilang.or.id/2012/12/25/angsa-batu-topeng/).
Burung ini mempunyai kebiasaan terbang rendah di atas laut dengan kepakan sayap yang lurus dan kuat, biasanya membentuk formasi acak. Terbang dalam kelompok, membentuk awan, berputar bila menemukan mangsa. Kadang-kadang mengunakan kapal untuk beristirahat (http://www.kutilang.or.id/2012/12/25/angsa-batu-topeng/).
Jenis burung ini merupakan salah satu jenis burung yang dilindungi oleh pemerintah melalui UU No. 5/1990 dan PP No. 7/1999. Red List IUCN memasukan jenis ini ke dalam kategori Least Concern (LC) sejak tahun 2010 hingga saat ini. Sebelumnya jenis ini dimasukan ke dalam kategori Not Recognized (NR) dari tahun 1988- 2008. (http://www.iucnredlist.org/details/22736173/0).
Berdasarkan taksonomi, jenis ini dimasukan ke dalam:
Ordo                : Pelecaniformes
Famili              : Sulidae
Genus              : Sula
Jenis                : Sula dactylatra
Perilaku makan
Berdasarkan hasil penelitian Sommerfeld J. et. al (2015) menunjukkan bahwa burung Angsa Batu topeng membesarkan anaknya menyesuaikan perilaku mencari makannya pada musim berbiak berdasarkan lokasi mencari makan dan berada dekat koloni.  Hasil penelitian ini juga mengungkapkan bahwa angsa batu topeng berasosiasi dengan dengan tepi laut yang dangkal dimana tingkat pertemuan lebih besar terjadi dengan mangsa yang mudah terlihat.  Faktor fisik, seperti upwelling, secara lokal dapat meningkatkan produksi primer.
Individu burung angsa batu topeng mengetahui dimana dan kapan untuk menemukan mangsa dalam rentang pencarian potensial mereka kembali ke habitatnya, sehingga memaksimalkan efisiensi bahan makanan.  Secara teori perjalanan ke tempat mencari makan yang jauh akan meningkatkan biaya baik dari segi waktu dan energi, oleh karena itu biaya yang timbul harus dikompensasikan pada kualitas mangsa yang didapatkan (mangsa yang terbaik) (Orians and Pearson, 1979; Stephens Dan Krebs, 1986 dalam Sommerfeld J 2015).
Namun, berdasarkan hasil penelitian ini burung angsa batu topeng tidak hanya menerima kenaikan biaya terkait dengan perjalanan mencari makan jauh, burung juga menerima risiko mencari makan di lingkungan dimana pertemuan dengan mangsa kurang dapat diprediksi.
Burung mencari mangsa di daerah yang jauh, yang mengindikasikan bahwa makanan yang kurang menguntungkan.  Meskipun terdapat konsentrasi klorofil yang lebih tinggi di daerah setempat merupakan indikasi sebuah upwelling, namun dengan mangsa yang lebih kecil, sehingga burung angsa batu topeng akan melakukan perjalanan jauh untuk individu dewasa, sedangkan individu muda akan melakukan perjalanan lokal yang tidak jauh dari habitatnya.  Perjalanan jauh dan lokal yang dilakukan oleh individu muda dan dewasa diketahui masih dalam batas toleransi ekologis mereka (Sommerfeld J et. al 2014).
Hasil tersebut sesuai dengan hasil Penelitian lainnya yang menunjukkan bahwa burung laut lainnya mampu menyesuaikan perilaku mencari makan mereka dengan perubahan distribusi mangsa atau berkurangnya ketersediaan mangsa yang disukai. Namun, ada batas toleransi eko-fisiologis yang jelas untuk menyesuaikan diri dengan perubahan dalam perilaku mencari makan terhadap mangsa yang tidak menguntungkan, berpengaruh negative terhadap reproduksi dan mengancam kelangsungan hidup individu dewasa dari burung angsa batu topeng (Arcos dan Oro, 1996; Litzow et al., 2002; Enstipp et al., 2007; Harding et al., 2007; Grémillet dan Boulinier, 2009 dalam Sommerfeld J 2015).
Konservasi
Berdasarkan hasil penelitian tersebut diketahui ketika berbiak burung angsa batu topeng menyukai daerah tepi dimana mangsa yang mudah terlihat dibandingkan dengan daerah jauh yang kepastian pertemuan dengan mangsa utama tidak dapat diprediksi.  Namun, ketika jumlah sumber makanan berkurang, maka individu dewasa akan melakukan perjalanan jauh guna mencari mangsa utama, sedangkan individu muda melakukan perjalanan lokal yang berdekatan dengan habitat mereka.  Individu dewasa yang melakukan perjalanan jauh, ketika tidak mendapatkan mangsa utamanya berupa ikan pelagis, maka akan mencari pakan alternatif berupa cumi-cumi dan ikan terbang.  Perubahan sumber mangsa akan menambah biaya mendapatkan mangsa, seperti mendapatkan cumi-cumi akan memaksa burung angsa batu untuk menyelam lebih dalam dikarenakan cumi-cumi beraktifitas lebih dalam dibandingkan dengan ikan pelagis yang menjadi sumber pakan utamanya.  Perubahan-perubahan tersebut masih dalam batas toleransi mereka, namun perubahan sumber pakan yang tidak dapat ditoleransi diperkirakan akan mengancam kelestarian mereka.  Kurangnya jumlah maupun kualitas mangsa diketahui berakibat negatif terhadap reproduksi mereka.  Sehingga, factor ketersediaan mangsa merupakan salah satu factor yang mempengaruhi kelestarian angsa batu.  Keberadaan mangsa diketahui berkaitan erat dengan  Pemanasan global dan perubahan suhu di laut.   Kedua factor tersebut menyebabkan mangsa utama angsa batu topeng semakin sulit diprediksi.  Sehingga burung angsa batu akan semakin menambah biaya mencari makannya dibandingkan kondisi sebelumnya.  Biaya tersebut akan semakin bertambah dengan sulitnya mendapatkan mangsa alternatif yang diketahui keberadaannya semakin sulit diprediksi akibat pemanasan global (Garthe et al., 2011).
Pentingnya sumber dan kualitas mangsa bagi kelestarian burung angsa batu topeng, menjadikan factor pemanasan global yang berpengaruh terhadap mangsa utama maupun mangsa alternatif burung angsa batu topeng, harus menjadi salah satu focus utama guna aksi konservasi dari burung angsa batu topeng.

DAFTAR PUSTAKA

Hailman JP. 1985. Behavior. In Ornithology in Laboratory and Fields. 5th Ed. Academic Press, Inc., New York.
Sommerfeld J, Kato A, Coudert YP, Garthe S, Wilcoxe C, Hindell MA.  2015.  Flexible foraging behaviour in a marine predator, the Masked booby (Sula dactylatra), according to foraging locations and environmental conditions. Journal of Experimental Marine Biology and Ecology. 463:79–86
Garthe S, Montevecchi WA, Davoren GK. 2011. Inter-annual changes in prey fields trigger different foraging tactics in a large marine predator. Limnol Oceanogr. 56: 802–812.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar