Beberapa kali saya bertanya kepada anak-anak muda
perkotaan, yang di mata saya tampak sudah dewasa dan mandiri. Mereka telah
lulus kuliah dan bekerja di suatu perusahaan. “Mengapa anda tidak segera
menikah, sementara usia anda telah dewasa dan anda juga sudah memiliki
penghasilan?”
“Saya belum
memiliki pekerjaan tetap”.
“Saya belum
memiliki penghasilan yang cukup untuk menghidupi keluarga”.
“Saya belum
memiliki investasi yang memadai”.
“Saya belum
mampu membiayai hidup saya sendiri. Saya khawatir tidak bisa memenuhi kebutuhan
nafkah keluarga nantinya”.
“Saya belum
siap secara ekonomi….”
Itulah sejumlah alasan yang dikemukakan sehingga
merasa diri absah untuk tidak segera melaksanakan pernikahan. Ada perhitungan
yang sangat matematis mengenai hidup, bahwa biaya-biaya hidup itu linear, kalau
satu orang hidup memerlukan uang satu juta rupiah sebulan, maka dua orang
berarti dua juta, kalau empat orang berarti empat juta rupiah. Ia merasa belum
mampu membiayai hidupnya sendiri, maka dipikirnya akan sangat memberatkan
apabila ia harus menikah dan menghidupi keluarga.
Gaya Hidup Sinetron
Gambaran hidup seperti apa yang mereka bayangkan?
Sinetron sering mengajarkan hidup yang glamour, mewah dan tiba-tiba kaya.
Seorang anak muda yang tidak diceritakan bagaimana sejarah dan usahanya,
tiba-tiba tampak digambarkan mengendarai mobil mewah, tinggal di rumah tingkat
yang luas dan megah, berganti-ganti pasangan, dan lain sebagainya. Apakah kita
sekarang tengah hidup di dunia sinetron? Membayangkan menjadi pelaku dalam
sebuah sinetron dengan segala kemewahan material yang tidak masuk akal itu?
Tiba-tiba anak-anak muda itu dicekam oleh rasa takut
yang amat sangat, bagaimana hidup nantinya jika tidak memiliki cukup materi.
Mereka merasa gagal hidup bahagia sejak dari awalnya, hanya karena belum
memiliki investasi yang mencukupi untuk menghadirkan kemewahan-kemewahan yang
diinginkan. Untuk itulah pernikahan dianggap belum layak dilaksanakan saat ini.
Nantilah kalau telah punya rumah sendiri. Nanti sajalah kalau sudah punya mobil
Ferrari sendiri. Nantilah kalau tabungan sudah lebih dari mencukupi.
Masyarakat kita terlanjur meletakkan ukuran-ukuran
serba-materi dalam menjalani kehidupan. Kesuksesan dan kegagalan tolok ukur
utamanya adalah materi. Perbincangan publik berkisar pada aspek-aspek material,
dan masih terpaku hanya pada sisi itu saja. Wajar kalau kemudian berpengaruh
secara amat kuat pada mentalitas anak-anak muda, ketika akan memutuskan menikah
pikiran pertama kali adalah ketersediaan dana dalam jumlah yang cukup bahkan
berlebih.
Orang tua dan masyarakat turut memberikan pengaruh
tatkala mereka menuntut “pekerjaaan tetap” dan “gaji tetap” kepada calon
menantu laki-laki yang datang melamar anak perempuannya. Mereka menanyakan, apa
pekerjaan tetapnya, berapa gaji per bulannya, bagaimana nanti memberikan makan
isteri dan anaknya? Pertanyaan yang mengarahkan kepada orientasi dan
jawaban-jawaban serba-materi.
Tentu saja pertanyaan di atas tidaklah salah, sebab
materi memang diperlukan untuk menjalankan kehidupan. Pertanyaan tersebut sah
dan benar semata. Akan tetapi yang menjadi masalah adalah apabila dampak dari
pertanyaan dan orientasi materi itu menyebabkan terhambatnya proses pernikahan.
Anak muda merasa takut untuk melangkah menuju pernikahan karena belum cukup
memiliki jawaban untuk menghadapi pertanyaan calon mertua yang “seperti itu”.
Akhirnya mereka memilih menunda-nunda pernikahan dengan memperpanjang masa
pacaran. Dampaknya akan sangat buruk terhadap mereka, karena tidak mampu lagi
menjaga gejolak syahwat.
Materi telah berubah menjadi berhala. Seakan-akan
materilah yang membuat orang menjadi berbahagia atau celaka. Seakan-akan materi
yang menjadi jaminan kebaikan hidup. Berhala materialisme itu disebarkan
sebagai sebuah keniscayaan, membuat orang tunduk di hadapannya, takluk tanpa
bisa melawan. Membuat masyarakat mengikuti keinginan dan tuntutannya.
Mengapa mau menyerah dan tunduk kepada gaya hidup
sinetron?
Miliki Visi
Pernikahan akan berhasil apabila anda memiliki visi
yang jelas dan terang benderang dalam kehidupan. Menikah bukan persoalan usia,
atau ketersediaan materi, atau sarana kehidupan pada umumnya. Yang sangat
penting adalah visi yang kuat dalam diri anda, untuk apa anda berumah tangga,
untuk apa anda berkeluarga, untuk apa anda melaksanakan pernikahan?
Jika anda memiliki visi ibadah, maka akan memberikan
kekuatan pondasi yang menjadi modal utama dalam kehidupan rumah tangga anda
nantinya. Niatkan dengan sangat kuat, bahwa pernikahan adalah ibadah, sebagai
sarana melaksanakan ketaatan kepada Tuhan dalam kehidupan. Berbagai persoalan
dan permasalahan dalam hidup berumah tangga yang nantinya pasti akan dijumpai,
dengan sangat mudah anda lewati bersama pasangan, kika anda meletakkan ibadah
sebagai pondasi pernikahan.
Menikah bukan semata-mata melampiaskan syahwat kepada
pasangan hidup. Menikah tidak semata-mata menyalurkan hasrat biologis, atau
sekedar mengikuti instink kemanusiaan. Lebih dari itu, menikah adalah langkah
pasti meretas sebuah peradaban kemanusiaan yang luhur dan mulia. Menikah adalah
gerbang memasuki jati diri kemanusiaan yang utuh dan bermartabat. Menikah
adalah sarana untuk menguatkan peran-peran sosial dalam kehidupan, bahwa hidup
kita tidak sekedar untuk urusan diri sendiri.
Kalahkan orientasi materi dengan kejelasan visi.
Enyahkan berbagai ketakutan dan kegalauan hati akibat merasa kekurangan materi,
perkaya diri dengan kekuatan visi. Menikahlah dengan visi yang jelas dan benar
tentang hidup berumah tangga, bermasyarakat, dan berperadaban. Insyaallah hidup
anda akan bahagia.
(Cahyadi Takariawan/Islamedia.co)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar