Masih ingat film Lone Survivor yang
diilhami operasi Red Wing di Afghanistan? Film ini mengisahkan empat anggota
Navy Seal yang sedang mengintai Taliban di Gunung Sawtalo Sar.
Misi gagal karena dipergoki penggembala
kambing yang lapor pada Taliban. Akibatnya, pasukan elite Amerika Serikat
dikejar 300 orang gerilyawan. Aksi heroik tersebut diingat para personel Navy
Seal dengan semboyan Never Forget Operation Red Wing 062805.
Nah kisah serupa juga pernah dialami
pasukan Komando Pasukan Khusus (Kopassus) yang dulu masih bernama Komando
Pasukan Sandi Yudha. Peristiwa itu terjadi 9 Januari 1983 saat satu unit
pasukan Nanggala berpatroli di KV34-34/Komplek Liasidi, Timor Timur.
Komplek Liasidi dianggap rawan karena
merupakan konsentrasi pasukan Fretilin yang bersenjata lengkap. Mulai dari
senapan serbu, mortir sampai pelontar granat.
Benar saja, unit kecil pasukan elite ini
kemudian dihadang 300 personel Fretelin di ketinggian. Pertempuran tak seimbang
terjadi di pinggir jurang.
Satu per satu prajurit Kopasandha tewas
diterjang peluru Fretilin. Komandan Tim Letnan Poniman Dasuki memerintahkan
mundur lewat celah bukit. Walau sulit, itu satu-satunya pilihan yang ada.
Di saat genting tersebut, Prajurit Satu
Suparlan meminta izin komandannya untuk menghadang musuh seorang diri. Dia
mengorbankan diri agar teman-temannya bisa lolos.
Suparlan membuang senapan miliknya dan
mengambil senapan mesin rekannya yang sudah gugur. Dia berlari maju dan
menembaki Fretilin tanpa memperdulikan peluru musuh yang mengoyak tubuhnya.
Suparlan sudah bersimbah darah. Peluru
senapan mesinnya sudah habis. Tapi dia tak mau menyerah.
Dia mencabut pisau komando dari
pinggangnya dan memburu musuh. Enam orang berhasil ditewaskan dalam pertarungan
maut.
Tak terhitung peluru Fretilin yang
menembus tubuhnya. Hingga Suparlan jatuh terduduk nyaris kehabisan darah.
Pasukan Fretilin mendekati Suparlan yang
tak mampu bergerak lagi. Mereka bersiap memberikan eksekusi terakhir. Sebuah
tembakan maut di kepala prajurit baret merah tersebut.
Setelah puluhan musuh makin mendekat,
dengan sisa-sisa tenaga yang masih dimiliki, Suparlan mencabut pin dua buah
granat di kantong celananya.
Dia melompat ke arah kerumunan Fretilin
dengan granat sambil berteriak keras. "Allahuakbar!!!"
Sementara itu lima orang pasukan
Suparlan yang tersisa telah berada di atas bukit. Mereka menghujani pasukan
Fretilin dengan peluru yang tersisa. Untungnya tak lama kemudian, bantuan
datang.
Tembak menembak terjadi hingga malam
hari. Korban berjatuhan dari dua pihak.
Tujuh prajurit Kopashanda tewas,
sementara di kubu Fretilin 83 personel tewas. Jenazah Suparlan ditemukan dalam
kondisi tak utuh.
"Keberanian dan bakti Suparlan
membuat negara menganugerahkan kenaikan pangkat luar biasa pada Prajurit Satu
Suparlan satu tingkat lebih tinggi dari pangkat semula yaitu Kopral Dua
Anumerta," demikian ditulis dalam Majalah Baret Merah edisi Ulang Tahun
tahun 2014.
Pemerintah juga menganugerahkan Bintang
Sakti pada Kopda Suparlan melalui Keppres No 20/TK/TH.1987.
Korps Baret Merah mengabadikan namanya
menjadi Lapangan Udara Perintis di Batujajar, Jawa Barat.
Rupanya tak cuma pemerintah Indonesia
yang menghargai keberanian Suparlan. Komandan Fretilin juga mengirimkan surat
pada pasukan Kopasandha. Walau musuh, mereka memuji keberanian dan perlawanan
hebat yang diberikan Prajurit Suparlan.
Dalam perang, jarang penghormatan seperti
ini terjadi. Kecuali untuk para prajurit yang menunjukkan keberanian luar
biasa (Merdeka.com).
Luar biasa kopassus.....
BalasHapusbagian ini yang paling saya suka...."Dia mencabut pisau komando dari pinggangnya dan memburu musuh. Enam orang berhasil ditewaskan dalam pertarungan maut...." salut prajurit yang tangguh..
Hapus