“… setelah
dibersihkan lalu diukur badan termasuk buah dada (badan)nya dan kemudian diperas
susunya untuk dijual, tanpa menyadari bahwa dia sebenarnya sudah
dimanfaatkan, dijadikan sapi perah. Untuk kepentingan dan keuntungan siapa?” (Dr. Daoed Joesoef).
Itulah
pernyataan keras mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Dr.Daoed
Joesoef, soal kontes-kontes ratu kecantikan, seperti ditulis dalam
memoarnya “Dia dan Aku: Memoar Pencari Kebenaran” (Jakarta: Kompas,
2006).
Daoed
Joesoef tidak berlebihan. Masalah eksploitasi tubuh perempuan untuk kepentingan
bisnis sudah banyak disorot pemerhati masyarakat dan keperempuanan. UGM
Yogyakarta, tahun 2004, meluluskan sebuah Tesis S2, yang kemudian diterbitkan
dalam sebuah buku bertajuk: Manipulasi dan Dehumanisasi Perempuan
dalam Iklan, karya Kasiyan, (Yogya: Ombak, 2008).
Deborah
Lupton, dalam bukunya, “Medicine as Culture: Illness, Disease and The
Body in Western Societies” (1994), seperti dikutip Kasiyan, mengungkapkan,
bahwa tubuh perempuan dalam media massa menjadi alat yang sangat penting dalam
berbagai proses sosial ekonomi, guna memberikan daya tarik erotis berbagai
produk. “Di negeri kami, tubuh perempuan bukan milik perempuan. Dada dan
paha sudah dijatahkan buat biro iklan dan wartawan,” tulis budayawan Ariel
Haryanto. (Kasiyan, 246)
Menganalisis
begitu dominannya pemanfaatan tubuh perempuan dalam iklan di media massa, dalam
Tesisnya itu, Kasiyan mencatat, “… maka setiap potensi micro desire yang
ada pada tubuh dan diri perempuan, telah dimanipulasi serta dieksploitasi
sedemikian rupa, sehingga menjadi tanda-tanda, dan akhirnya menjadi objek
komoditas.”
Lalu,
mengutip, pendapat Piliang (1998), ia paparkan, “Di sinilah para kapitalis
lewat salah satu mesin provit-itas terefektifnya, berupa iklan di media massa,
akhirnya mengejawantahkan dirinya menjadi seperti sesosok ‘mucikari’, yakni
menggunakan segala cara untuk mengkomersialkan setiap rangsangan libido publik,
demi mendapatkan nilai tambah yang sebesar-besarnya secara ekonomis.” (Kasiyan,
247-248).
Era
industrialisasi kapitalistik yang menempatkan perempuan sebagai objek
eksploitasi berusaha mengkaitkan segala objek kecantikan dengan konotasi
seksual. Lihatlah, begitu banyak perempuan cantik dan seksi dijadikan sebagai
simbol produk-produk yang sama sekali tidak ada terkait dengan tubuh perempuan.
Iklan mobil, cat pembersih mobil, ban mobil, cat dinding, dan sebagainya
dipaksakan dibintangi iklannya oleh perempuan muda dan seksi. Artinya,
segala sesuatu harus diseksualkan dan dikaitkan dengan libido.
Dalam
perspektif inilah kita bisa melihat kegairahan para pebisnis dan ‘mucikari
kecantikan’ terlibat dalam kontes-kontes kecantikan seperti Miss World. Panitia
mengklaim, Miss World menjadi ajang promosi budaya Indonesia, seperti
sarung dan karya-karya desainer Indonesia. Panitia itu benar, jika dilihat
dalam perspektif upaya seksualisasi atau libidonisasi sasaran penjualan
produk. Supaya calon pembeli produk terangsang syahwatnya untuk membeli,
maka produk-produk itu ditempelkan di tubuh perempuan yang cantik, muda,
montok, menggairahkan, dan “telah teruji serta terukur” kecantikannya.
Panitia Miss
World sepertinya sama sekali tidak terbersit di benak mereka, memberikan
kehormatan kepada Ibu Ani SBY atau Ibu Menteri Linda Agum Gumelar untuk
berlenggok di pentas dan dipelotori jutaan pasang mata seluruh dunia, dalam
balutan “sarung Bali”. Sebenarnya, apa yang hendak dipromosikan dan diharapkan
untuk dilahap oleh para calon pembeli? Apakah mata, hidung, bibir, dada, perut,
pantat, paha, betis para peserta kontes Miss World? Apakah para penonton
masih tertarik melihat sehelai kain yang dibelitkan di tubuh
perempuan-perempuan cantik itu?
Komodifikasi
nafsu libido dalam bentuk pengendalian organ-organ tubuh perempuan untuk
kepentingan pasar, telah mengakibatkan keberadaan perempuan sebagai sesosok
insan – yang oleh Michel Foucault dalam buku “The History of Sexuality”
(1990) – disebut mengalami “the death of reality”. Sebagai subjek,
perempuan itu telah mati, karena dikendalikan oleh ideologi pasar. (Kasiyan,
249).
Kondisi ini
mirip dengan fenomena ‘kematian hati/akal’ manusia saat dicengkeram hawa
nafsunya, sebagaimana digambarkan dalam al-Quran (QS 45:23). Orang-orang yang
menjadikan hawa nafsunya sebagai “tuhan”-nya, akan tersesat, tertutup mata hati
dan telingnya untuk menerima kebenaran. Penglihatannya pun terhalang melihat
yang benar. Dunia menjadi gelap. Yang terlihat dan dirasa hanya syahwat.
Dalam
peradaban yang lebih menghargai syahwat dari pada logika kesucian jiwa dan
taqwa, maka kontes Miss World menemukan bentuknya. Logikanya hanya satu:
keuntungan materi dengan kemasan libido seksual. Meskipun mengusung
jargon baru: beauty, brain, and behavior (3B), tetap saja, yang
terpenting adalah “beauty”. Perempuan cebol, pincang, peyot – dengan
prestasi intelektual dan sosial selangit – mustahil diberi peluang untuk
melenggang di pentas Miss World. Sebab, secara seksual, ia tidak laku
“dijual”.
Dalam
perspektif inilah, media sponsor Miss World bisa dikatakan telah
melakukan “kejahatan kemanusiaan”, karena melakukan proses “dehumanisasi” dan
eksploitasi perempuan sebagai objek seksual. Dalam Tesisnya, Kasiyan melukiskan
fenomena semacam ini sebagai berikut:
“… ketika
perempuan cenderung distereotipkan secara sosial, bahwa nilai lebihnya itu
hanya terdapat pada daya tarik seksualnya, dengan indikasinya adalah terletak
pada kecantikan, kemulusan, kesegaran, serta kemontokan tubuhnya, maka tanpa
disadari, akhirnya perempuan didorong dan bahkan ‘dipaksa’ untuk memenuhi
tuntutan tersebut, jika ingin mendapatkan penghargaan dari masyarakat, yang didominasi
oleh budaya patriarkhis. Pada sisi lain, untuk memenuhi tuntutan tubuh yang
harus selalu tampak muda, segar, mulus, montok, menggairahkan, serta sederetan
kualitas kesan citra artifisial lainnya tersebut, ia (perempuan) akhirnya
menjadi korban stadium lanjut berikutnya, dari sistem kapitalisme… Padahal
dibalik semua itu, eksploitasi terhadapnya nyaris bersifat total, sehingga
tubuh perempuan akhirnya terjerumus ke dalam apa yang dikatakan oleh Foucault,
menjadi semacam power machinery yang harus selalu dieksplorasi,
dibongkar, dan dirombak ulang. Bukankah perempuan akan selalu memeriksa
dandanannya berkali-kali di setiap saat, hanya untuk sekedar melihat, misalnya,
apakah alas bedak dan lipstiknya masih lengket atau maskara-nya sudah rusak.
Oleh karena itu, di bawah kuasa ideologi patriarkhi yang terefleksi dalam
representasi iklan di media massa tersebut, tubuh perempuan dieksploitasi
secara sistemik, hanya untuk semata-mata menghadirkan dan memberikan gairah
kenikmatan (jouissance).” (Kasiyan, 275-277).
Bisa
dipahami, di alam “hegemoni syahwat-kapitalistik” semacam itu, kecantikan
perempuan menjadi komoditas tinggi untuk dijual. Sebagian ilmuwan
menyebut “kecantikanisme” justru menjadi alat ampuh untuk mengendalikan
perempuan. Perempuan cantik adalah objek yang menggiurkan untuk dijual para
“mucikari kecantikan”. Ironisnya, kini, bisnis kapitalis itu dikemas
dengan kata-kata indah “demi kepentingan bangsa”, sehingga harus disukseskan
dan diamankan dengan kekuatan polisi dan tentara Republik Indonesia.
Dalam buku “The
Beauty Myth: How Images of Beauty Are Used Against Women”, Naomi Wolf
mengemukakan, bahwa tekanan untuk senantiasa menjadi cantik telah menjadi
sebentuk kontrol efektif bagi budaya kontemporer untuk mengendalikan
perempuan. Lebih jauh lagi, Mary Wollstonecraft dalam “Vindication of
The Rights of Woman” (1972), menyatakan, perempuan seringkali sebagai budak
‘kecantikan’, untuk dilihat, dipuja, dan ditinggikan laki-laki, namun tidak
sederajat dalam hak dan kekuasaan. (Kasiyan, 280).
Penipuan dan
Pelecehan
Karena
itulah, dalam soal kontes-kontes kecantikan, Dr Daoed Joesoef tetap pada
pendiriannya, bahwa kontes-kontes semacam itu adalah suatu bentuk penipuan.
Dalam memoarnya, ia menulis: “Pemilihan ratu-ratuan seperti yang
dilakukan sampai sekarang adalah suatu penipuan, di samping pelecehan terhadap
hakikat keperempuanan dari makhluk (manusia) perempuan. Tujuan kegiatan ini
adalah tak lain dari meraup keuntungan berbisnis, bisnis tertentu; perusahaan
kosmetika, pakaian renang, rumah mode, salon kecantikan, dengan mengeksploitasi
kecantikan yang sekaligus merupakan kelemahan perempuan, insting primitif dan
nafsu elementer laki-laki dan kebutuhan akan uang untuk bisa hidup mewah.
Sebagai ekonom aku tidak a priori anti kegiatan bisnis. Adalah normal mencari
keuntungan dalam berbisnis, namun bisnis tidak boleh mengenyampingkan begitu
saja etika. Janganlah menutup-nutupi target keuntungan bisnis itu dengan dalih
muluk-muluk, sampai-sampai mengatasnamakan bangsa dan Negara.”
”Pendek
kata,” lanjutnya,
“Kalau di zaman dahulu para penguasa (raja) saling mengirim hadiah berupa
perempuan, zaman sekarang pebisnis yang berkedok lembaga kecantikan, dengan
dukungan pemerintah dan restu publik, mengirim perempuan pilihan untuk turut
”meramaikan” pesta kecantikan perempuan di forum internasional.”
Karena itu,
tegasnya, “Stop all those nonsense! Hentikan semua kegiatan pemilihan
ratu kecantikan yang jelas mengeksploitasi perempuan dan pasti merendahkan
martabatnya!”….
Itu imbau
Dr. Daoed Joesoef yang saat mejabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
(1977-1982), dikenal sebagai tokoh yang sangat sekuler. Saat itu, dalam
memoarnya, Daoed Joesoef menulis, bahwa ia menolak mengucapkan salam Islam,
karena – katanya – ia bukan hanya menterinya orang Islam. Ia juga mengusulkan
kepada Pak Harto agar Natal Bersama bisa dilakukan di Istana Negara,
sebagaimana Perayaan Maulid Nabi Muhammad saw. Pak Harto menolak, dengan
cara diam. Namun, dalam soal kontes kecantikan, pendapat Daoed Joesoef
patut diacungi jempol!
Jika tokoh
sekuler saja begitu paham akan dampak buruk dari kontes Miss World dan
sejenisnya bagi bangsa Indonesia, maka seyogyanya, para pemimpin dan tokoh yang
mengaku religius dan mencintai bangsa ini, lebih paham lagi. Negeri ini
merdeka dengan tetesan darah para syuhada. Bangsa ini akan maju dan
menjadi bangsa besar yang disegani dunia, jika dibangun dengan kerja keras,
dengan mengembangkan budaya ilmu dan cinta buku! Bukan budaya jual diri dan
mengumbar nafsu! Memang, jika hawa nafsu telah dijadikan “tuhan” maka manusia
akan terhalang memahami kebenaran? (QS 45:23).
Jangan ikuti
Iblis!
Sebagai
bangsa yang secara tegas menyatakan beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa;
mengakui dalam konstitusi, bahwa kemerdekaan RI adalah atas berkat rahmat Allah
Yang Maha Kuasa; menyatakan komitmen membangun manusia yang adil dan beradab;
menegaskan dalam lagu kebangsaannya “bangunlah jiwanya, bangunlah
badannya”, maka seharusnya segala bentuk kontes eksploitasi tubuh perempuan –
apa pun bentuk dan namanya -- tidak boleh dikembangkan di bumi Indonesia.
Dalam
perpsektif Islam, manusia adil dan beradab adalah manusia yang mampu
meletakkan segala sesuatu pada tempatnya sesuai dengan harkat dan martabat yang
ditentukan oleh Sang Pencipta. Sebab, manusia itu ciptaan Tuhan. Bukan hanya
pelangi saja yang merupakan ciptaan Tuhan. Manusia juga hamba Tuhan; bukan
hamba nafsu, sebagaimana binatang. Manusia tidak sama dengan
binatang. Tidak akan jadi kontroversi hebat jika peserta kontes Miss
World itu adalah monyet, anjing, atau babi.
Manusia
menghargai kecantikan. Itu sifat alamiah manusia (QS 3:14). Nabi Muhammad saw
juga menyebutkan perempuan dinikahi karena kecantikannya, hartanya, nasabnya,
dan agamanya. Memilih yang cantik itu naluriah. Tapi, diingatkan, utamakan
factor agama, maka anda akan selamat! Itu kata Nabi saw. Kecantikan bukan
jaminan kebahagiaan. Lihatlah, betapa banyak laki-laki merana setelah menikah
dengan perempuan cantik.
Cantik patut
disyukuri. Maknanya, gunakan kecantikan sesuai dengan amanah Sang Pemberi
Kecantikan, yaitu Allah SWT. Syukurilah anugerah kecantikan! Gunakan kecantikan
untuk ibadah. Supaya hidup bahagia!
Jangan
kufur! Ingkar perintah dan larangan Tuhan! Apalagi sampai berani menantang
Tuhan, dengan (seolah-olah) berkata lantang pada-Nya:
“Tuhan,
tolong, jangan campuri urusanku! Ini tubuhku sendiri! Aku punya otonomi
penuh untuk mengatur tubuhku! Apakah tubuhku aku jual; aku pertontonkan; aku
perlihatkan detil-detil keindahannya kepada para juri dan panitia Miss World;
atau aku tutupi; aku punya otonomi penuh mengatur tubuhku! Bukan Engkau wahai
Tuhan!
Jangan sok
ngatur-ngatur aku! Aku berbuat ini demi kepentingan bangsaku; agar
pariwisatanya maju; banyak yang mau berkunjung ke tanah airku, setelah
keindahan tubuhku dinikmati oleh para makhluk-Mu! Mereka akan tertarik datang
ke negeriku, membeli kain sarung yang melilit di tubuhku ini, Tuhan!
Wahai Tuhan,
tolong sampaikan kepada ulama-ulama yang sok moralis, yang katanya
menjaga moral bangsa. Tutup mulut mereka! Mereka tak paham arti budaya bangsa!
Tidak ada yang aku langgar dari nilai-nilai budaya bangsa ini! Bahkan, aku jauh
lebih sopan, karena diantara nilai budaya yang masih dilestarikan bangsa kami
adalah wanita bertelanjang dada dan laki-laki berkoteka. Kalau ulama-ulama itu
tidak suka dengan kontesku ini, diam saja! Urus saja diri mereka sendiri!
Silakan demo! Aku tidak peduli! Habiskan energi mereka untuk demo dan
teriak-teriak! Aku tidak peduliiii Tuhan!
Wahai Tuhan,
sekali lagi, jangan campuri urusan ku! Aku sudah mampu mengatur diriku
sendiri. Aturan-aturanmu soal baju itu hanya cocok untuk manusia abad ketujuh!
Sekarang zaman sudah maju! Para desainer ku lebih hebat dari Engkau wahai Tuhan
dalam memilihkan baju untukku! Karena itu, aku lebih percaya pada pilihan
mereka! Bukan pilihan-Mu yang sudah uang dan ketinggalan jaman!
Wahai Tuhan,
saksikan wahai Tuhan, aku akan tunjukkan seluruh keindahan tubuhku ini kepada
siapa saja yang mau menikmatinya! Panitia telah bekerja keras selama tiga
tahun! Ini kontes Miss World, Tuhan! Miss World! Ini Kontes
kecantikan, Tuhan! Bukan olimpiade matematika! Biarlah tubuhku dijual
oleh mucikari kecantikan! Karena itu yang paling mereka minati, Tuhan! Itu yang
mereka mau dariku!
Ha…ha… ha…
wahai Tuhan! … heighh… heighh… heighh… Tuuuu… haaannn… tolong sampaikan
pada bangsaku… jangan mau dibohongi mucikari… tolong tolong …. Botol lagi…
botol lagi…. tambah… tambah…….terusss… terusss… tonton aku…. Lihat tubuhku….
Pandangi terus tubuhku… jangan berhenti… demi kemajuan bangsa… demi budaya
bangsa… demi pariwisata…. !!! (Dr. Adian Husaini)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar