Alhamdulillah, banyak sekali peristiwa
menyenangkan akhir-akhir ini. Salah satu momen yang indah saat diberi
kesempatan untuk diskusi dan konsultasi dengan salah satu pembicara hypno
terbaik di Jogja. Sedikit curhat tentang planning masa depan bahwa saya ingin
menggenapkan separuh dien pada usia yang kebanyakan orang menganggap ‘belum
saatnya’.
Menurutnya tidak ada masalah mengenai topik
menikah muda, hanya masyarakat saja yang terlalu berlebihan menumpuk syarat
bagi seseorang untuk melanjutkan ibadah yang suci ini, menurutnya kewajiban
tentang memberi nafkah pada keluarga terlalu berlebihan dipahami oleh
masyarakat sehingga menghasilkan citra negatif terhadap para pelaku nikah usia
muda.
Masyarakat juga masih terpatok pada usia
standarisasi yang berlaku saat ini, seperti usia 10-15 tahun adalah masa
remaja, 15-18 tahun adalah masa pencarian jati diri, dan 18-25 adalah adalah
proses pendewasaan. Beginilah realita yang ada di masyarakat saat ini.
Padahal di dalam islam, seorang anak adam
hanya dibatasi oleh dua periode. Yaitu dari bayi hingga baligh, dan setelahnya
dari baligh hingga tutup usia. Tentang masa peralihan seorang manusia pada usia
yang relatif ini juga sebenarnya memang perlu disikapi dengan cara yang bijak.
Sebuah langkah yang keliru jika orangtua
tidak menanamkan nilai-nilai islam sejak dini untuk mempersiapkan masa
pelepasan tanggungjawabnya sebagai orangtua, hingga banyak kita dapati saat ini
para remaja yang telah melalui periode aqil baligh terlihat belum siap dan
belum mantap memasuki ataupun merasakan terjun pada dunia transisi yang kadang
dirasa aneh.
Terbukti dengan sikap para remaja yang
cenderung ikut-ikutan tren. Sebenarnya sah-sah saja, tidak ada yang
dipermasalahkan disini tapi bisa menjadi sebuah masalah besar jika tren yang
diikuti itu adalah tren negatif, setidaknya dari segi sosial, padahal akan
lebih parah jika ditinjau dari segi religi.
Kembali pada topik menikah muda. Memang
sebenarnya pilihan seperti ini kembali pada masing-masing pribadi. Memang wajar
juga jika cap negatif tersampaikan pada para pelaku nikah muda. Saya sendiri
termasuk manusia yang mendukung jika para muda-mudi muslim segera mengamalkan
niat suci ini, tentunya disertai dengan berbagai pertimbangan yang tak
sembarangan. Bukan dengan menggampangkan. Yang sering menjadi penghalang utama
untuk terealisasinya niat suci ini lebih sering pada peranan orangtua yang
ingin ‘melindungi’ anak mereka dari hal yang ‘belum saatnya’.
Tak jarang juga dijumpai di tengah
masyarakat tentang perilaku orangtua yang terlalu over dengan memberikan
alasan-alasan ‘aneh’ ketika hendak dilanjutkan sebuah proses. Untuk yang
menikah pada usia yang sudah dianggap wajar-pun terkadang masih sulit untuk mendapatkan
restu dari orangtua.
Terlepas dari adanya batasan-batasan yang
dibentuk oleh masyarakat, saya justru kagum dengan mereka yang telah berani
‘menantang tradisi’ dengan niat yang lurus dan orientasi yang luas.
Saya pernah beberapa kali menyinggung
pembahasan ini dengan orangtua, tentang niat, juga tentang orientasi. Dan
mereka hanya mengajukan sebuah syarat, “Jadilah seorang hafidz, dan ajukan
proposalmu..” Begitu kata mereka. Kemudian ketika saya ajukan pertanyaan “Ada
tambahan lain?” Dan mereka hanya menyampaikan beberapa nasehat. Tak ada syarat
lain. Sepertinya memang mereka tak mempermasalahkan usia.
Saya sendiri sebenarnya bingung dengan
polapikir masyarakat modern. Tapi toh ternyata pilihan itu kembali pada
masing-masing personal. Ingin menjalani hidup dengan proses yang seperti apa
dan bagaimana, selama tidak melenceng dari nilai-nilai moral dan agama, maka
dipersilahkan. (Ibrahim Vatih)
Sumber:
fimadani.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar