Buat yang
belum tau, etika adalah ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan
tentang hak dan kewajiban moral (akhlaq). Ini kata KBBI. Rasulullah shalallahu
‘alaihi wa sallam, sang guru terhebat pun mengajarkan etika sebelum ilmu.
Dan metode ini juga diikuti oleh para sahabat beliau radhiyallahu ‘anhu
ajmaiin. Tidak hanya berhenti sampai di situ, para tabi’in dan tabi’ut
tabi’in melakukan hal yang sama, mendahulukan pengajaran etika sebelum ilmu.
Teringat juga akan kisah Malik bin Anas ketika disuruh ibunya untuk berguru
kepada Rabi’ah. Ibunya meminta Malik bin Anas radhiyallahu ‘anhu untuk
mempelajari etika sebelum mempelajari ilmu. Mengapa etika harus didahulukan
sebelum ilmu?
Etika
mengarahkan para penuntut ilmu kepada sesuatu yang harus dijaga. Baik itu
akhlaq, etika terhadap diri sendiri, keluarga, guru, teman dan orang-orang di
sekitar. Oleh karena itu pengajaran etika ini tidak dapat dipisahkan dari
pengajaran ilmu. Ilmu apapun. Entah itu ilmu kedokteran, fisika, kimia, fiqh,
hadits, qur’an dan disiplin ilmu lainnya. Belajar menjadi seorang peretas pun
ada etikanya. Dalam bukunya Hacking for Dummies, Kevin Beaver memulai
tulisannya dengan bab Building the Foundation for Ethical Hacking.
Belajar menjadi seorang jurnalis juga ada kode etik yang harus diketahui.
Ibnu Syihab berkata, “Sesungguhnya ilmu ini adalah etika Allah yang telah diajarkan kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkannya kepada umat beliau. Ilmu juga merupakan amanat Allah kepada Rasul-Nya agar disampaikan apa adanya. Maka barangsiapa yang mendengar suatu ilmu, maka hendaklah ia meletakkannya di depannya sebagai hujjah antara dirinya dan Allah. (Dapat dibaca dalam al-Jami’ li Akhlaaqi ar-Raawii wa Aadaabi as-Sami’ milik Khotib al-Baghdadi)
Kembali ke
tema, dalam buku Adaab Thoolibul ‘Ilmi milik Dr. Anas Ahmad Karzoun,
atau yang dalam bahasa Indonesianya Etika Pencari Ilmu, disebutkan tiga
belas etika yang harus dimiliki oleh penuntut ilmu. Tapi pada postingan kali
ini, penulis hanya akan menyebutkan beberapa etika saja. Insya Allah pada
postingan berikutnya akan dilanjutkan.
Adab yang
pertama adalah Ikhlas. Ini merupakan hal pertama yang wajib dimiliki
oleh seorang penuntut ilmu. Ikhlas adalah sebab sebuah amal diterima Allah.
Dalam hadits ‘arbain, riyadhus shalihin, umdatul ahkam dan
kitab-kitab hadits lain dimulai dengan bab ikhlas. Bahkan haditsnya sangat
masyhur dan banyak dihafal oleh ummat Islam. Apalagi kalau bukan hadits tentang
niat.
إِنَّمَا
الأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ
هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ، فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ،
وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا، أَوِ امْرَأَةٍ
يَتَزَوَّجُهَا، فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ.
“Sesungguhnya amal itu tergantung
pada niat, dan setiap orang itu tergantung pada apa yang ia niatkan.
Barangsiapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka (ia akan
mendapatkan) pahala hijrah karena Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang
hijrahnya karena dunia yang ia kejar atau wanita yang hendak ia nikahi, maka ia
hanya akan mendapatkan sesuai niat hijrahnya.” (HR. Bukhori dan Muslim)
Hadits ini
mengisahkan tentang seorang sahabiyah bernama Ummu Qais. Imam ath-Thabrani
meriwayatkan dalam al-Mu’jam al-Kabir, bahwasanya Ibnu Mas’ud radhiyallahu
‘anhu berkata : “Di antara kami ada seorang lelaki melamar seorang wanita
bernama Ummu Qais. Namun, wanita ini menolak sehingga ia berhijrah ke Madinah.
Maka laki-laki tersebut ikut hijrah dan menikahinya. Karena itu kami memberinya
julukan Muhajir Ummu Qais.”
Para ulama
bersepakat bahwa perbuatan seorang Muslim tidak akan diterima dan tidak akan
mendapatkan pahala kecuali jika diiringi dengan niat. Allah berkalam dalam surat
al-Bayyinah ayat 5:
وَمَا
أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ
وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
“Padahal
mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan
kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan
sholat dan menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus.”
Bila
penuntut ilmu mengikhlaskan amalnya lillahi ta’ala, niscaya ia akan
mendapatkan pahala yang besar, usahanya akan diberkahi dan ia akan mendapatkan
kemuliaan yang diberikan oleh Allah berikan kepada ilmu, ulama dan siapa saja
yang menempuh jalan mereka. Namun, bila keikhlasan hilang dari dirinya dan ia
terasuki noda-noda riya’, serta tujuan menuntut ilmunya adalah untuk berdebat,
popularitas, mengejar pangkat dan jabatan tengah-tengah manusia, maka ilmu
tersebut akan menjadi bukti keburukannya pada hari kiamat. Wal iyadzu billah.
Betewe ikhlas itu apaan sih? Dari tadi ngalor
ngidul ngomongin ikhlas, tapi kita belum tahu apa makna ikhlas itu
sendiri. Imam Ibnul Qayyim memaknai ikhlas dengan mengesakan Allah di dalam
tujuan atau keingimnan ketika melakukan ketaatan. Ikhlas adalah memurnikan
amalan dari segala yang mengotorinya. Dan ini merupakan pengamalan dari surat
al-Fatihah ayat 5, “Hanya kepadaMu kami menyembah dan hanya kepadaMu kami
mohon pertolongan.” Intinya ikhlas itu memurnikan amalan hanya untuk Allah
semata. Beramal hanya untuk Allah, mengharap ridho Allah.
Ada sebuah
pernyataan yang sangat menarik dari menantu Rasulullah yang juga termasuk dalam
golongan al-asroh mubasyiriina bi al-Jannah (sepuluh orang yang masuk
surga terlebih dahulu), Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu tentang
keikhlasan dalam menuntut ilmu. Beliau berkata : “Wahai para pembawa ilmu, beramallah
dengan ilmu kalian. Karena, yang disebut alim adalah orang yang mengamalkan apa
yang ia ketahui dan ilmunya sesuai dengan amalnya. Akan ada suatu kaum yang
membawa ilmu tidak melebihi kerongkongan mereka. Ilmu mereka bertentangan
dengan amal mereka. Batin mereka bertentangan dengan lahir mereka. Mereka duduk
dalam halaqoh untuk saling berdebat antara yang satu dengan yang lain. Hingga
ada seseorang yang marah kepada rekannya, lalu berpindah dengan yang lain dan
meninggalkan rekannya. Amalan mereka dalam majlis itu tidak akan bisa naik
kepada Allah Ta’ala.
Jleeeeeb
sangat. Sementara masih banyak di antara kita yang menuntut ilmu hanya untuk
beradu pikiran, opini mau pun berdebat. Membaca sebanyak-banyaknya, bertanya
kepada orang-orang berilmu, menghadiri majlis-majlis ilmu hanya untuk mencari
pembenaran untuk bisa mengalahkan pemikiran orang lain. Tak lain tak bukan
hanya supaya dianggap ‘ini lho gue punya ilmu’ atau ‘ilmu yang gue
punya yang bener, ilmu lo salah’.
Tapi..
jangan karena takut tidak ikhlas dalam menuntut ilmu lantas malas untuk mencari
ilmu. Lebih baik saya tidak menuntut ilmu daripad saya tidak ikhlas.
Bukan. Bukan itu. Dan tidak seharusnya kata itu keluar karena takut riya’.
Fudhail bin ‘Iyadh radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Meninggalkan amalan
karena manusia adalah riya’. Beramal karena manusia termasuk kesyirikan.
Sedangkan ikhlas adalah engkau terselamatkan dari dua hal tadi.”
Lantas apa
yang harus kita lakukan supaya bisa ikhlas dalam tholabul ‘ilm? Mungkin
untuk yang satu ini, kita bisa belajar bareng sama Fandy dan Saprol yang
ditantang oleh Pak Haji untuk belajar ilmu ikhlas (nostalgia Kiamat Sudah
Dekat…hehe).
Tenang,
alhamdulillah masalah satu ini pernah dibahas di web rumaysho.com. Syaikh
Sholih bin ‘Abdullah bin Hamd al-‘Ushoimi hafizhahullah mengatakan
ikhlas dalam tholabul ‘ilm itu bisa diperoleh jika :
1. Diniatkan
untuk menghilangkan kebodohan diri sendiri
2. Diniatkan
untuk menghilangkan kebodohan dari orang lain
3. Diniatkan
untuk menghidupkan dan menjaga ilmu
4. Dan
mengamalkan ilmu yang telah dipelajari.
Apabila
sudah muncul kecenderungan riya’ pada diri kita ketika menuntut ilmu, maka
segeralah sibukkan diri untuk memperbarui niat. Dan ini banyak juga dilakukan
oleh para penuntut ilmu pada generasi-generasi sebelum kita. Sufyan ats-Tsaury
bahkan mengatakan “Tidakkah aku mengobati sesuatu yang lebih sulit bagiku
dari mengobati niatku. Karena niat itu selalu berbolak-balik pada diriku.”
‘Ubaidillah
bin Abi Ja’far memberi nasehat “Apabila seseorang berbicara dalam
sebuah majlis, lalu pembicaraan tersebut membuat dirinya takjub, maka hendaklah
ia diam. Apabila diam itu membuatnya takjub, maka hendaklah ia berbicara.”
Sheikh
Sholih Munajid dalam kitabnya al-Ikhlas mengatakan, Barangsiapa yang
merasa bahwa dalam ikhlasnya terdapat keihklasan maka sesungguhnya ikhlasnya
itu membuthkan keikhlasan. Buat yang kurang paham dengan ibarat ini, maaf
saya belum bisa menerjemahkannya dengan baik ke bahasa indonesia. Lebih dalem
maknanya dalam bahasa arab. Kalimat arabnya begini :
من شَهِدَ في إخْلاَصِه
الإخْلاَص, فإخلَاصه يَحْتَاجُ إلىَ إخْلاَص
Kita akhiri
pembahasan ikhlas ini dengan petuah Imam Ghazali rahimahullah kala
beliau mengingatkan para penuntut ilmu akan pentingnya mengevaluasi diri dan
bertanya tentang motif yang mendorongnya untuk menuntut ilmu dan siap
menanggung semua rintangannya. Beliau berkata, “Berapa banyak malam yang
telah kamu hidupkan untuk mengulang ilmu dan mentelaah kitab-kitab. Kamu
menahan diri untuk tidur. Aku tidak tahu apa motifasimu dari itu semua? Apabila
niatmu untuk mencari kesenangan dunia, mengumpulkan kekayaannya, mencari
kedudukan dan membanggakan diri di hadapan para sahabat dan orang-orang
sepertimu, maka celakalah kamu dan celakalah kamu. Namun, apabila tujuanmu
dalam menuntut ilmu adalah untuk menghidupkan syari’at Nabi shalallahu
‘alaihi wa sallam, mendidik akhlaqmu dan menghancurkan nafsu yang senantiasa
memerintahkan kejahatan, maka beruntunglah kamu dan beruntunglah kamu.
Agaknya
ikhlas mudah diucapkan dan sulit untuk direalisasikan. Tapi tak apa, yang
penting mari perbaiki niat kita detik demi detik. Niatkan semuanya lillahi
ta’ala. Tak heran rasanya kalau Bapak, dari dulu sampai sekarang,
nasihat yang diucapkan ketika anaknya sedang menuntut ilmu adalah “Yang ikhlas
ya Nak…”
Insya Allah,
etika berilmu lainnya akan dibahas di postingan berikutnya. Semoga bermanfaat
:)
Wallahu
a’lam bishowab
Sumber: http://riandinigallery.blogspot.com/2013/06/etika-berilmu-ikhlas.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar