Halaman

Kamis, 25 Juli 2013

AGROFORESTRY UNTUK MENGENTASKAN KEMISKINAN

SEBUAH study di Afrika Timur yaitu Kenya, Uganda, Tanzania dan Ethiopia  dalam sepuluh tahun terakhir menunjukkan bahwa masyarakat petani miskin negeri-negeri itu bisa mengatasi kebutuhan pokoknya dengan mengubah pola bertani mereka. Disamping bercocok tanam di ladang-ladang mereka yang gersang, mereka mulai banyak menanam pohon. Konsep bercocok tanam dan menanam pohon ini merupakan bagian yang secara luas disebut agroforestry.
Agroforestry adalah prinsip ketiga dari ilmu tataguna lahan, dua yang lain adalah forestry (kehutanan) dan agriculture (pertanian). Dua hal yang selama ini selalu diurusi secara terpisah yaitu kehutanan dan pertanian, memang sudah waktunya untuk diurusi secara terintegrasi yaitu dengan agroforestry – saya belum ketemu istilah bahasa Indonesia yang tepat untuk ini.

Karena sejak di perguruan tinggi fakultas kehutanan selalu terpisah dari fakultas pertanian, kemudian di negara inipun departemen kehutanan juga terpisah dari departemen pertanian – membuat dua bidang ini seolah memang terpisah, bahkan dalam banyak hal berbeda kepentingan.
Untuk menyiapkan lahan pertanian, tidak jarang hutan ditebang atau bahkan dibakar. Padahal dengan mengorbankan hutan, kelangsungan pertanian itu sendiri juga terancam dari berkurangnya sumber-sumber mata air, dan meningkatnya suhu permukaan bumi yang membuat bertani beresiko tinggi - dengan berkembang biaknya sejumlah microba yang semula terkendali jumlahnya.
Ilmu agroforestry berkembang berdasarkan teori bahwa setiap jenis tanaman memiliki batas maksimal dalam memanfaatkan sinar matahari untuk kegiatan photosynthesis-nya , rata-rata tanaman hanya butuh 1/10 dari sinar matahari yang diterimanya. Dengan demikian sejumlah tanaman bisa hidup dengan baik meskipun berada di bawah atau berhimpitan dengan tanaman lainnya.
Di hutan-hutan sejumlah tanaman hidup berhimpitan satu sama lain dan semuanya tumbuh subur. Di hutan tanaman pangan (Food Forest, bagian dari Agroforestry) yang bertahan hidup 2000 tahun di Marocco – tanaman-tanaman ini bertahan ribuan tahun justru karena hidup berbagi dan berdampingan secara berlapis-lapis.
Bandingkan apa yang ada di Marocco tersebut dengan komposisi tanaman-tanaman ideal menurut para penggerak permaculture (permanent agriculture, istilah lain untuk agroforestry meskipun tidak sama persis) seperti pada ilustrasi dibawah.
Lihat kemiripan (lihat gambar) apa yang sudah ada sejak 2000 tahun lalu tersebut dengan teorinya para ahli tanaman yang berkelanjutan. Bandingkan pula ini dengan tanaman-tanaman yang disebut secara spesifik di al-Qur’an. Tanaman no 1 canopy-nya adalah kurma, tanaman no 2 low tree bisa zaitun, delima atau tin.
Tanaman no 3 adalah berbagai jenis tanaman penghasil buah atau bunga yang manis dan harum yang di al-Qur’an disebut raihaan (QS: 55 : 12). Tanaman no 4 adalah berbagi jenis tanaman herbal, tanaman no 5 adalah jahe (QS: 76:17) dan sejenisnya. Tanaman no 6 adalah berbagai jenis rumput-rumputan (QS: 80:31) dan tanaman penutup lahan lainnya. Sedangkan tanaman no 7 adalah anggur atau tanaman merambat lainnya – yang diindikasikan dalam surat (QS: 6 :141).
Perhatikan apa yang disusun para ahli permaculture atau agroforestry dengan susah payah melalui riset-riset yang panjang, ternyata semuanya sudah ada di ayat-ayat al-Qur’an diawali dengan petunjuk di ayat berikut :

وَفِي الأَرْضِ قِطَعٌ مُّتَجَاوِرَاتٌ وَجَنَّاتٌ مِّنْ أَعْنَابٍ وَزَرْعٌ وَنَخِيلٌ صِنْوَانٌ وَغَيْرُ صِنْوَانٍ يُسْقَى بِمَاء وَاحِدٍ وَنُفَضِّلُ بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ فِي الأُكُلِ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَعْقِلُونَ

“Dan di bumi ini terdapat bagian-bagian yang berdampingan, dan kebun-kebun anggur, tanaman-tanaman dan pohon kurma yang bercabang dan yang tidak bercabang, disirami dengan air yang sama. Kami melebihkan sebahagian tanam-tanaman itu atas sebahagian yang lain dalam memberi pangan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.” (QS: ar Ra’d [13]:4).
Setelah dengan susah payah-pun para ahli menyusunnya, mereka masih miss minimal untuk satu jenis buah yang juga disebut buah kehidupan yaitu pisang. Buah yang tidak mengenal musim dan dapat mencukupi hampir seluruh nutrisi yang dibutuhkan manusia ini – harusnya mendapatkan tempat khusus dalam struktur permaculture atau agroforestry design.
Pisang disebut secara khusus di antara buah yang banyak – yang tidak berhenti berbuah dan tidak terlarang mengambilnya ( QS: 56 : 29-33), pasti dia memiliki tingkat kepentingan tersendiri. Dan pohon pisang inilah yang juga saya saksikan sendiri ada di antara kurma, anggur, zaitun, delima dan tin di suatu kebun di Gaza – di tempat yang pada umumnya para ahli tidak menduga pisang tumbuh, para ahli mengira pisang adalah tanaman tropis. Bahkan di hutan tanaman pangan yang berumur 2000 tahun tersebut di atas, pisang adalah juga merupakan salah satu tanaman utamanya – padahal Marocco juga bukan daerah tropis seperti kita.
Dengan membandingkan apa yang dihasilkan para ahli dan petunjuk yang ternyata jauh lebih komplit dan terbukti secara nyata ada di beberapa tempat di permukaan bumi ini, maka semakin jelas kini kebenaran petunjuk itu. Tinggal kita mengikutinya untuk mulai membangun integrasi antara pertanian dan kehutanan kita atau yang secara umum disebut agroforestry ini.
Hanya saja berbeda dengan rancangan para ahli permaculture atau agroforestry pada umumnya, kita tidak lagi perlu menduga-duga tanaman-tanaman apa yang cocok untuk saling disandingkan dan unggul dalam sumber makanan itu. Kita tinggal membaca petunjukNya, memahaminya dan tentu saja mengamalkannya di lapangan.
Insyaallah laboratorium lapangan kita untuk ini termasuk greenhouse-nya sudah dalam proses pembangunan dan insyaAllah selesai di bulan Ramadhan, seluruh bibit tanaman-tanaman al-Qur’an-pun Alhamdulillah telah lengkap kita kumpulkan antara lain juga dibantu para pembaca situs ini. Kini tinggal ikhtiar kita untuk perbanyakannya, agar cukup bibit nantinya bagi masyarakat yang akan menerapkan konsep kebun-kebun al-Qur’an untuk agroforestry ini. InsyaAllah.*

(Muhaimin Iqbal/hidayatullah.com)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar