SEBUAH study di Afrika Timur yaitu Kenya,
Uganda, Tanzania dan Ethiopia dalam
sepuluh tahun terakhir menunjukkan bahwa masyarakat petani miskin negeri-negeri
itu bisa mengatasi kebutuhan pokoknya dengan mengubah pola bertani mereka.
Disamping bercocok tanam di ladang-ladang mereka yang gersang, mereka mulai
banyak menanam pohon. Konsep bercocok tanam dan menanam pohon ini merupakan
bagian yang secara luas disebut agroforestry.
Agroforestry adalah prinsip ketiga dari
ilmu tataguna lahan, dua yang lain adalah forestry (kehutanan) dan agriculture
(pertanian). Dua hal yang selama ini selalu diurusi secara terpisah yaitu
kehutanan dan pertanian, memang sudah waktunya untuk diurusi secara
terintegrasi yaitu dengan agroforestry – saya belum ketemu istilah bahasa Indonesia
yang tepat untuk ini.
Karena sejak di perguruan tinggi fakultas
kehutanan selalu terpisah dari fakultas pertanian, kemudian di negara inipun
departemen kehutanan juga terpisah dari departemen pertanian – membuat dua
bidang ini seolah memang terpisah, bahkan dalam banyak hal berbeda kepentingan.
Untuk menyiapkan lahan pertanian, tidak
jarang hutan ditebang atau bahkan dibakar. Padahal dengan mengorbankan hutan,
kelangsungan pertanian itu sendiri juga terancam dari berkurangnya
sumber-sumber mata air, dan meningkatnya suhu permukaan bumi yang membuat
bertani beresiko tinggi - dengan berkembang biaknya sejumlah microba yang
semula terkendali jumlahnya.
Ilmu agroforestry berkembang berdasarkan
teori bahwa setiap jenis tanaman memiliki batas maksimal dalam memanfaatkan
sinar matahari untuk kegiatan photosynthesis-nya , rata-rata tanaman hanya
butuh 1/10 dari sinar matahari yang diterimanya. Dengan demikian sejumlah
tanaman bisa hidup dengan baik meskipun berada di bawah atau berhimpitan dengan
tanaman lainnya.
Di hutan-hutan sejumlah tanaman hidup
berhimpitan satu sama lain dan semuanya tumbuh subur. Di hutan tanaman pangan
(Food Forest, bagian dari Agroforestry) yang bertahan hidup 2000 tahun di
Marocco – tanaman-tanaman ini bertahan ribuan tahun justru karena hidup berbagi
dan berdampingan secara berlapis-lapis.
Bandingkan apa yang ada di Marocco tersebut
dengan komposisi tanaman-tanaman ideal menurut para penggerak permaculture
(permanent agriculture, istilah lain untuk agroforestry meskipun tidak sama
persis) seperti pada ilustrasi dibawah.
Lihat kemiripan (lihat gambar) apa yang
sudah ada sejak 2000 tahun lalu tersebut dengan teorinya para ahli tanaman yang
berkelanjutan. Bandingkan pula ini dengan tanaman-tanaman yang disebut secara
spesifik di al-Qur’an. Tanaman no 1 canopy-nya adalah kurma, tanaman no 2 low
tree bisa zaitun, delima atau tin.
Tanaman no 3 adalah berbagai jenis tanaman
penghasil buah atau bunga yang manis dan harum yang di al-Qur’an disebut
raihaan (QS: 55 : 12). Tanaman no 4 adalah berbagi jenis tanaman herbal,
tanaman no 5 adalah jahe (QS: 76:17) dan sejenisnya. Tanaman no 6 adalah
berbagai jenis rumput-rumputan (QS: 80:31) dan tanaman penutup lahan lainnya.
Sedangkan tanaman no 7 adalah anggur atau tanaman merambat lainnya – yang diindikasikan
dalam surat (QS: 6 :141).
Perhatikan apa yang disusun para ahli
permaculture atau agroforestry dengan susah payah melalui riset-riset yang
panjang, ternyata semuanya sudah ada di ayat-ayat al-Qur’an diawali dengan
petunjuk di ayat berikut :
وَفِي الأَرْضِ قِطَعٌ مُّتَجَاوِرَاتٌ وَجَنَّاتٌ مِّنْ أَعْنَابٍ وَزَرْعٌ وَنَخِيلٌ صِنْوَانٌ وَغَيْرُ صِنْوَانٍ يُسْقَى بِمَاء وَاحِدٍ وَنُفَضِّلُ بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ فِي الأُكُلِ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَعْقِلُونَ
“Dan
di bumi ini terdapat bagian-bagian yang berdampingan, dan kebun-kebun anggur,
tanaman-tanaman dan pohon kurma yang bercabang dan yang tidak bercabang,
disirami dengan air yang sama. Kami melebihkan sebahagian tanam-tanaman itu
atas sebahagian yang lain dalam memberi pangan. Sesungguhnya pada yang demikian
itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.” (QS: ar
Ra’d [13]:4).
Setelah dengan susah payah-pun para ahli
menyusunnya, mereka masih miss minimal untuk satu jenis buah yang juga disebut
buah kehidupan yaitu pisang. Buah yang tidak mengenal musim dan dapat mencukupi
hampir seluruh nutrisi yang dibutuhkan manusia ini – harusnya mendapatkan
tempat khusus dalam struktur permaculture atau agroforestry design.
Pisang disebut secara khusus di antara buah
yang banyak – yang tidak berhenti berbuah dan tidak terlarang mengambilnya (
QS: 56 : 29-33), pasti dia memiliki tingkat kepentingan tersendiri. Dan pohon
pisang inilah yang juga saya saksikan sendiri ada di antara kurma, anggur,
zaitun, delima dan tin di suatu kebun di Gaza – di tempat yang pada umumnya
para ahli tidak menduga pisang tumbuh, para ahli mengira pisang adalah tanaman
tropis. Bahkan di hutan tanaman pangan yang berumur 2000 tahun tersebut di
atas, pisang adalah juga merupakan salah satu tanaman utamanya – padahal
Marocco juga bukan daerah tropis seperti kita.
Dengan membandingkan apa yang dihasilkan
para ahli dan petunjuk yang ternyata jauh lebih komplit dan terbukti secara
nyata ada di beberapa tempat di permukaan bumi ini, maka semakin jelas kini
kebenaran petunjuk itu. Tinggal kita mengikutinya untuk mulai membangun
integrasi antara pertanian dan kehutanan kita atau yang secara umum disebut
agroforestry ini.
Hanya saja berbeda dengan rancangan para
ahli permaculture atau agroforestry pada umumnya, kita tidak lagi perlu
menduga-duga tanaman-tanaman apa yang cocok untuk saling disandingkan dan
unggul dalam sumber makanan itu. Kita tinggal membaca petunjukNya, memahaminya
dan tentu saja mengamalkannya di lapangan.
Insyaallah laboratorium lapangan kita untuk
ini termasuk greenhouse-nya sudah dalam proses pembangunan dan insyaAllah
selesai di bulan Ramadhan, seluruh bibit tanaman-tanaman al-Qur’an-pun
Alhamdulillah telah lengkap kita kumpulkan antara lain juga dibantu para
pembaca situs ini. Kini tinggal ikhtiar kita untuk perbanyakannya, agar cukup
bibit nantinya bagi masyarakat yang akan menerapkan konsep kebun-kebun
al-Qur’an untuk agroforestry ini. InsyaAllah.*
(Muhaimin
Iqbal/hidayatullah.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar