Pada mulanya adalah fisik. Seterusnya adalah budi. Raga menantikan
pandanganmu. Jiwa membangun simpatimu. Badan mengeluarkan gelombang
magnetiknya. Jiwa meniupkan kebajikannya.
Begitulah
cinta tersurat di langit kebenaran. Bahwa karena cinta jiwa harus selalu
berujung dengan sentuhan fisik, maka ia berdiri dalam tarikan dua pesona itu:
jiwa dan raga.
Tapi
selalu ada bias disini. Ketika ketertarikan fisik disebut cinta tapi kemudian
kandas ditengah jalan. Atau ketika cinta tulus pada kebajikan jiwa tak tumbuh
berkembang sampai waktu yang lama. Bias dalam jiwa ini terjadi karena ia selalu
merupakan senyawa spritualitas dan libido. Kebajikan jiwa merupakan udara yang
memberi kita nafas kehidupan yang panjang. Tapi pesona fisik adalah sumbu yang
senantiasa menyalakan hasrat asmara.
Biasnya
adalah ketidakjujuran yang selalu mendorong kita memenangkan salah satunya:
jiwa dan raga. Jangan pernah pakai “atau” disini. Pakailah “dan”: kata sambung
yang menghubungkan dua pesona itu. Sebab kita diciptakan dengan fitrah yang
menyenangi keindahan fisik. Tapi juga dengan fakta bahwa daya tahan pesona
fisik kita ternyata sangat sementara. Lalu apakah yang akan dilakukan sepasang
pecinta jika mereka berumur 70 tahun? Bicara. Hanya itu. Dan dua tubuh yang
tidur berdampingan di atas ranjang yang sama hanya bisa saling memunggungi.
Tanpa selera. Sebab tinggal bicara saja yang bisa mereka lakukan. Begitulah
pesona jiwa perlahan menyeruak di antara lapisan-lapisan gelombang magnetik
fisik: lalu menyatakan fakta yang tidak terbantahkan bahwa apa yang membuat dua
manusia bisa tetap membangun sebuah jangka panjang sesungguhnya adalah
kebijakan jiwa mereka bersama.
Seperempat
abad lamanya Rasulullah saw hidup bersama Khadijah. Perempuan agung yang pernah
mendapatkan titipan salam dari Allah lewat malaikat Jibril ini menyimpan
keagungannya begitu apik pada gabungan yang sempurna antara pesona jiwa dan
raganya. Dua kali menjanda dengan tiga anak sama sekali tidak mengurangi
keindahan fisiknya. Tapi apa yang menarik dari kehidupannya mungkin bukan
ketika akhirnya pemuda terhormat, Muhammad bin Abdullah, menerima uluran
cintanya. Yang lebih menarik dari itu semua adalah fakta bahwa Rasulullah saw
sama sekali tidak pernah berpikir memadu Khadijah dengan perempuan lain. Bahkan
ketika Khadijah wafat, Rasulullah saw hampir memutuskan untuk tidak akan
menikah lagi.
Bukan
cuma itu. Bahkan ketika akhirnya menikah setelah wafatnya Khadijah, dengan
janda dan gadis, beliau tetap berkeyakinan bahwa Khadijah tetap tidak
tergantikan. “Allah tetap tidak menggantikan Khadijah dengan seseorang yang
lebih baik darinya,“ kata Rasulullah saw.
Terlalu
agung mungkin. Tapi memang begitu ia ditakdirkan: menjadi cahaya keagungan yang
menerangi jalan para pecinta sepanjang hidup. Pengalaman di sekitar kita
barangkali justru selalu tidak sempurna. Karena biasanya selalu hanya ada
“atau” bukan “dan” dalam pesona kita. Atau bahkan tidak ada “dan” apalagi
“atau”. Ketika pesona terbelah seperti itu, cinta pasti berada di persimpangan
jalan, selamanya diterpa cobaan, seperti virus yang menggerogoti tubuh kita.
Dalam keadaan begitu penderitaan kadang tampak seperti buaya yang menanti
mangsa dalam diam. (Anis
Matta)
(sumber: pilihanpolitik.blogspot.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar