Hubungan Geologi
dan Ekologi Terhadap Keanekaragaman
hayati
Daratan dan lautan Indonesia membentuk
kekayaan tumbuhan dan hewan yang paling beragam di dunia. Iklim tropis, posisi geografi yang melingkar
di antara Asia dan Australia telah menghasilkan area flora dan fauna yang tidak
dapat dibandingkan. Di kepulauan
Indonesia terdapat lebih dari 1.500 spesies burung, 500-600 jenis mamalia,
8.500 jenis ikan, 40.000 jenis pohon dan sejumlah bentuk-bentuk kehidupan
lainnya dalam jumlah yang sangat banyak.
1. Pengaruh
Ukuran Pulau Pada Kekayaan Jenis
Menurut teori biogeografi pulau, jumlah spesies yang tercakup pada pulau yang diberikan akan
ditentukan oleh angka imbang antara rata-rata kepunahan lokal dan rata-rata
imigrasi. Pulau yang berukuran 10 kali
lebih besar akan mempunyai spesies dua kali lebih banyak. Pulau-pulau yang jauh
dari benua akan mempunyai spesies yang lebih sedikit. Sedangkan pulau besar relatif mempunyai
keanekaragaman yang lebih tinggi dibandingkan pulau kecil. Hal tersebut dapat dilihat dari kondisi Indonesia. Pulau-pulau besar seperti Irian dan Kalimantan mempunyai lebih banyak
spesies dari pulau-pulau kecil. Sementara
pulau-pulau yang jauh dari benua, seperti Pulau Timor, terbukti
kurang kaya akan spesies jika dibandingkan dengan pulau-pulau yang dekat dengan benua dan jauh dari pusat
penyebaran seperti Pulau Jawa.
Pulau-pulau dengan hujan musiman atau tanah-tanah yang lebih miskin mempunyai spesies yang lebih
kecil dibanding dengan pulau-pulau subur. Pengaruh
ukuran pulau pada tingkat endemisitas setempat juga sangat tinggi. Pulau-pulau besar mempunyai jumlah spesies dengan tingkat
endemisitas yang jauh lebih tinggi,
tetapi korelasinya tidak begitu tampak
seperti halnya pada kekayaan
spesies. Jika korelasi ini dibuat untuk
ukuran pulau, maka spesies endemik akan
berkorelasi negatif dengan kekayaan spesies dan berkorelasi positif dengan tingkat
isolasi.
Terdapat perbedaan antara tumbuhan dan
kelompok hewan dalam tingkat endemisitas: bahwa banyaknya hewan endemik tidak
selalu diikuti oleh tingginya tumbuhan endemik, tetapi seringkali tingginya
tumbuhan endemik akan diikuti oleh banyaknya jumlah jenis hewan endemik. Yang jelas tumbuhan endemik lebih terpengaruh oleh
ukuran pulau daripada isolasi geografis.
Sebaliknya endemisitas burung sangat tergantung pada isolasi geografis. Pulau-pulau yang jauh
dan kecil dapat mempunyai tingkat endemisitas burung yang tinggi, dengan tingkat endemik tumbuhannya yang
bisa tergolong rendah.
2. Ketinggian dan habitat
Faktor ketinggian dan habitat pun
memiliki korelasi. Bertambahnya ketinggian akan berakibat pada
berkurangnya kelimpahan spesies.
Perubahan utama komposisi komunitas secara vertikal tampak nyata. Pada dataran rendah, komposisi
komunitasnya lebih kompleks dan
keanekaragaman hayatinya lebih tinggi jika dibandingkan dengan dataran
tinggi. Alhasil, faktor ketinggian,
bersama faktor lain seperti iklim dan
kesuburan tanah, sangat menentukan kekayaan spesies pada tingkat habitat. Kekayaan invertebrata sangat berkorelasi dengan kekayaan tumbuhan. Kekayaan
vertebrata juga sangat memiliki korelasi dengan struktur yang kompleks dari hutan, yang juga berhubungan dengan kesuburan tanah dan
kesamaan iklim.
3. Lokasi Geografi
Indonesia mempunyai dua biogeografi utama: Oriental dan Australia, yang diperkenalkan
oleh A.R. Wallacea. Tokoh yang membuat garis pemisahan fauna. Selama periode Pleistosen, semua pulau-pulau dihubungkan oleh daratan sampai Asia. Sedangkan Irian dan Aru berhubungan dengan Australia.
Hal ini terlihat dari hewan-hewan liar di pulau-pulau sunda yang berbeda dengan yang ada di Aru dan
Irian. Pulau-pulau yang berada di antara Paparan Sunda dan Sahul,
yakni Maluku, Sulawesi, tidak mempunyai
hubungan daratan dengan benua lainnya. Area ini merupakan perpaduan antara biota famili Asia dan Australia.
Kawasan Biogeografi Indonesia |
Meletusnya Gunung Krakatau yang begitu
hebat pada tahun 1883 membuat pulau
tersebut menjadi sangat terkenal dan sangat penting secara ekologis. Letusannya yang maha dahsyat itu, tidak saja menyebabkan
seluruh vegetasi dan hewan pada permukaan tanah terbakar, tetapi juga hampir dapat
dipastikan bahwa seluruh permukaan tanah
menjadi steril. Kondisi yang
semacam ini merupakan kondisi yang ideal untuk melakukan pengamatan bagaimana
cara tumbuhan dan hewan berkolonisasi di atas lahan perawan.
Berawal dari kondisi steril setelah
meletusnya Gunung Krakatau, Pulau Krakatau mengalami suksesi. Di daerah bekas
letusan gunung Krakatau mula-mula muncul pioner berupa lumut kerak (liken)
serta tumbuhan lumut yang tahan terhadap penyinaran matahari dan kekeringan. Tumbuhan pionir tersebut akhirnya melapuk dan
membentuk tanah sederhana. Kondisi
tersebut mengundang pengurai dan membuat
tanah menjadi subur. Dengan kondisi
tanah yang telah subur, biji yang datang
dari luar daerah dapat tumbuh dengan subur dan tumbuh rumput yang tahan
kekeringan, serta tumbuhan herba pun tumbuh menaungi tanaman pioner. Kondisi tersebut membuat tanaman pionir menjadi tidak subur. Selanjutnya rumput dan belukar mengadakan
pelapukan lahan yang kemudian diuraikan oleh jamur. Proses selanjutnya semak tumbuh dan menjadi dominan. Kemudian pohon-pohon
mulai tumbuh dan mendesak tumbuhan
belukar sehingga akhirnya membentuk hutan.
Dari proses suksesi tersebut kini,
setidaknya terdapat lebih kurang 200 jenis tumbuhan di daerah tersebut. Jumlah ini serupa dengan jumlah yang dijumpai pada survei terdahulu pada tahun 1934.
Tetapi hal ini tidak menunjukkan suatu keseimbangan statik karena jumlah
seluruh jenis yang pernah tercatat di pulau itu pada prinsipnya bertambah. Artinya, tidak semua jenis yang dijumpai pada
masa lampau dijumpai juga pada saat ini atau dengan kata lain terdapat
pergantian jenis. Dari kondisi tersebut
telah dihitung bahwa dalam kurun waktu 50 tahun belakangan ini telah muncul
jenis-jenis baru di pulau tersebut dengan rata-rata sebanyak 2,28 sampai 2,60 pertahun. Secara kasar hal ini berarti suatu jenis baru
akan masuk pada setiap dua tahun, atau sama dengan 50 jenis per seratus tahun (1
abad).
Sejarah Keanekaragaman
Hayati pada Pulau-pulau Kecil di Indonesia.
Pulau-pulau di Indonesia
dapat dibagi menurut sejarah geologinya. Pertama pulau laut, yaitu pulau yang belum
pernah berhubungan dengan daratan lainnya, seperti Pulau Simuelue, Enggano, Buru, Kai, Tanimbar.
Kedua pulau benua, yaitu pulau yang pada
masa lampau, ketika permukaan laut lebih rendah dari sekarang, mempunyai
hubungan dengan daratan atau benua lain, seperti Pulau Nias, Bawean, Natuna, Belitung, Sumba
dan Aru. Di samping itu ada pulau yang
lokasinya mengalami perubahan akibat perpindahan paparan benua, seperti Pulau Sulawesi, yang terdiri dari dua atau
tiga bagian dulunya merupakan pulau
tersendiri yang terpisah-terpisah. Dengan
kondisi tersebut, maka flora dan fauna sulawesi merupakan campuran dari flora dan fauna dari
tiga pulau yang berlainan tersebut.
Besarnya tubuh hewan juga sering
mengalami perubahan tergantung sejarah pulau. Komodo di Pulau Komodo, misalnya. Pertumbuhan jenis ini dimungkinkan akibat
ketiadaan hewan besar lainnya di pulau itu.
Sebaliknya, jenis hewan berukuran
kerdil juga dijumpai di pulau-pulau. Untuk
menambah jumlah individu dalam populasi, memperkecil tubuh dianggap lebih menguntungkan. Sumber makanan yang terbatas jumlahnya pun jelas akan mendukung
lebih banyak hewan kecil daripada hewan besar.
Dengan dasar ini maka dampak penyakit atau kejadian lain yang merugikan jenis menjadi kurang penting bila
jumlah individu lebih besar dengan variasi plasma nutfah yang jauh lebih besar
pula.
Sebagai kaidah umum, hewan kecil yang sampai di pulau biasanya membesar, hewan besar
yang sampai di pulau justru mengecil.
Akan tetapi pola ini tidak selalu demikian lantaran adanya faktor-faktor ekologis lainnya. Misalnya, individu-individu dewasa yang paling kecil dari bajing garis putih, (yang terdapat
di Sumatera, Semenanjung Malaya, Kalimantan dan Sulawesi Utara) juga dijumpai di pulau-pulau yang terkecil.
Makin besar pulau, makin besar ukuran bajing tersebut. Individu terbesar dijumpai pada Pulau Penyilir
(seluas 280 Km²) dan Pulau Rupat (1.360 km²) di Riau.
Pola Distribusi
Keanekaragaman Hayati
Hampir pada semua kelompok organisme,
keanekaragaman spesies meningkat jika mendekati
daerah tropik. Contohnya Kenya
memiliki 308 spesies mamalia, sedangkan Prancis hanya 113 spesies, walaupun
kedua negara kurang lebih memiliki luas yang sama. Kontrasnya semakin terlihat untuk pohon dan tumbuhan berbunga: satu hektar di Amazon atau dataran rendah
Malaysia memiliki lebih dari 200 spesies, sedangkan pada hutan dengan luas yang
sama di Eropa atau Amerika Serikat, mungkin hanya dapat ditemukan tidak lebih
dari 30 spesies per hektar.
Keanekaragaman hayati terbesar di temukan di daerah tropik. Walaupun daerah tropik hanya mencakup 7% dari
luas bumi, tapi lebih dari separuh spesies dunia dapat ditemukan disini.
Faktor sejarah juga penting dalam
menentukan pola keanekaragaman spesies.
Wilayah yang lebih tua memiliki lebih banyak keanekaragaman dari pada
wilayah yang lebih muda. Wilayah yang lebih
tua memiliki banyak waktu menerima spesies yang tersebar dari bagian lain dunia dan lebih banyak
waktu bagi spesies yang ada untuk menjalani radiasi adaptif pada kondisi lokal. Pola kekakayaan juga dipengaruhi oleh variasi
lokal seperti topografi, iklim dan
lingkungan. Pada komunitas darat,
kekayaan spesies cenderung meningkat pada daerah yang lebih rendah, radiasi
matahari yang lebih banyak, dan juga curah hujan.
(Dari Berbagai Sumber).
Bahan bacaan utama: Meletarikan Alam
Indonesia, Jatna Supriatna 2008.
Pertemuan kedua, Kuliah Keanekaragaman
Hayati.
Terimakasih paparannya...
BalasHapusSangat mencerdasakan dan mencerahkan tentang materi biogeografi...
sama-sama bro, semoga bermanfaat infonya.....
Hapus