Minggu, 28 Oktober 2012

STOP GALAU

     Fenomena galau sekarang ini semakin banyak melanda. Bahkan tak hanya kalangan ABG yang galau gara-gara diputus pacarnya, fenomena galau merangsek ke semua kalangan tak pandang bulu, dari anak-anak bau kencur hingga kakek nenek. 
      Setiap manusia yang hidup di planet bumi ini pasti punya masalah, namun hanya orang-orang yang cerdaslah yang mampu mengatasi masalah dengan tepat. Bukan malah lari dari masalah. Karena jika kita lulus dari suatu masalah, pasti ada hikmah dan melahirkan kedewasaan. 
     Sebagai ummat muslim, tak sepantasnya selalu mengeluh tanpa ada usaha untuk menyelesaikan suatu masalah apapun bentuknya. Apalagi mengadukan permasalahan tidak pada tempatnya. Bisa-bisa fatal akibatnya. Jangan juga memendam masalah begitu saja. Salah-salah malah jadi 'bom waktu' yang bisa meledak kapan saja. Maka takheran jika ada mau bunuh diri gara-gara "gak punya pulsa"?
      Sungguh Islam datang sebagai solusi atas segala permasalahan, asalkan kita mau belajar dan bersungguh-sungguh mengkajinya dengan benar. Maka berbahagialah orang-orang yang senantiasa dekat dengan ilmu,orang berilmu, atau senantiasa mengkaji dalam halaqoh-halaqoh ilmu. Karena dengan ilmulah kita bisa menjadi lebih bijak. 
    Berikut ini Rasulullah mengajarkan kepada kita obat anti galau yang terangkum dalam kisah menarik : "Abu Sa'id al-Khudri r.a berkata,
"Pada suatu hari Rasulullah SAW masuk masjid, tiba-tiba beliau berjumpa dengan seorang Anshar bernama Abu Umamah.  Rasulullah bertanya, "Wahai Abu Umamah, mengapa kamu duduk-dduk di Masjid di luar waktu sholat?"
Abu Umamah menjawab," karena kegalauan yang melanda hatiku dan hutang-hutangku, wahai Rasulullah". 
Rasulullah bersabda, "maukah aku ajarkan kepadamu beberapa bacaan, yang bila kamu baca, niscaya Allah akan menghilangkan rasa galau dari dirimu dan hutang-hutangmu?"
Abu Umamah berkata "Tentu mau, wahai Rasulullah." Rasulullah bersabda "Pada waktu pagi dan sore ucapkanlah Allahumma inni a'udzubika minalhammi wal hazani wa a'udzubika minal 'ajzi wal kasali wa a'udzubika minal jubni walbukhli wa a'u dzubika min ghalabatiddaini wa qahrirrijaali* (3X)
Kemudian aku melakukan anjuran Nabi SAW, maka Allah menghilangkan rasa galau dari diriku dan melunasi hutang-hutangku." Dikeluarkan oleh Abu Dawud (Shahihul Jami' 1300) 
      Nah ternyata benar Islam itu sempura. Bahkan peristiwa "galau" itu telah melegenda lebih dari 1400 tahun yang lalu. Maka aneh jika sekarang banyak yang ikut-ikutan galau, padahal mengaku dirinya muslim, tapi takmencari tau ilmu penangkalnya. Bagaimana, masih ingin terus-terusan dalam galau? 
       Doa tersebut adalah salah satu dari doa Ma'tsur yang sebaiknya kita panjatkan di kala pagi dan petang. Masih banyak doa-doa lain yang terangkum di dalamnya yang InsyaAllah banyak fadhillahnya(keutamaannya). 
"Suatu kaum yang duduk-duduk bersama dan berdzikir bersama niscaya para malaikat akan mengelilingi mereka, rahmat melimpah kepada mereka, turun ketenangan terhadap mereka dan Allah menyebut mereka kepada yang berada di sisiNya" (HR Muslim)
"Ya Allah, Sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari rasa susah dan sedih, dan aku berlindung kepada-Mu dari rasa leah dan malas, dan aku berlindung kepada-Mu dari sikap pengecut dan kikir, dan aku berlindung kepada-Mu dari lilitan hutang dan tekanan orang lain". 
Wallahu a'lam Bishawwab.
[Anindya Sugiarto/Islamedia]

Sabtu, 27 Oktober 2012

JADILAH EXPERT

     Beberapa hari yang lalu ada anak muda yang bertanya kepada saya, “Pak, kenapa saya harus menjadi expert? Saya ingin menjadi orang yang biasa saja. Saya ingin menjadi orang yang bersyukur, tidak ngoyo. Hidup sudah ada yang ngatur.”
     Mendengar pertanyaan anak muda ini saya langsung teringat nasihat orang tua angkat saya, “Jamil, jangan kau melakukan yang baik-baik.” Saya terkejut kemudian bertanya, “Kok gak boleh melakukan yang baik-baik? Kenapa, pak?” Sambil menarik napas panjang beliau berucap, “Lakukanlah yang terbaik. Penduduk bumi terlalu banyak, dunia hanya memperhatikan orang-orang yang terbaik. Dunia tak punya waktu memperhatikan orang yang hanya baik saja.”
     Jadilah seorang expert, seorang yang ahli, seorang yang terbaik di bidang yang ditekuni. Apa untungnya? Banyak. Pertama, semakin percaya diri. Orang-orang yang tidak percaya diri biasanya fokus pada kelemahan bukan pada keahliannya. Harga diri dan juga harga tawar orang yang expert semakin tinggi dan mahal. Ia akan lebih leluasa mengambil keputusan. Ketahuilah, orang-orang yang gelisah dan mudah panik adalah orang yang tidak mempunyai keahlian atau kalau punya keahlian itu hanya rata-rata.
     Kedua, nikmatnya akan berlimpah. Menurut G. William Domhoff, research professor in psychology and sociology di University of California, Santa Cruz, 80% populasi dunia  memperebutkan 7% perputaran uang. Sementara 93% jumlah uang yang yang beredar didunia dikuasai oleh 20% populasi manusia, dan yang 20% itu adalah orang-orang expert di bidangnya masing-masing. Semakin expert  seseorang membuktikan bahwa orang itu termasuk orang yang mensyukuri nikmat yang telah Allah berikan kepadanya. Wajar bila berbagai nikmat akan ditambah kepada orang itu.
     Ketiga, semakin tidak “ngoyo”. Proses menjadi seorang expert memang perlu berkeringat dan bekerja keras. Namun setelah menjadi seorang expert berbagai nikmat akan mendekat hidupnya jadi lebih mudah. Sementara orang yang tidak expert semakin hari hidupnya semakin “ngoyo” Mengapa? Dunia semakin maju, persaingan semakin keras tapi orang ini tetap diam di tempat. Akhirnya, ia “ngoyo” sepanjang hidup.
    Hal terbaik yang diperoleh seorang expert adalah menjadi sumber inspirasi kebaikan bagi generasi setelahnya. Dia menjadi bahan cerita untuk generasi penerus. Sebagai pemberi contoh kebaikan bagi yang beriman ia akan selalu mendapat kiriman pahala tiada henti walau ia sudah terbujur kaku di dalam bumi.
      Nah, masih tidak mau menjadi expert? T-E-R-L-A-L-U….

Jamil Azzaini (Islamedia).

Sabtu, 06 Oktober 2012

MEGADIVERSITAS INDONESIA


Dalam hal kekayaan keanekaragaman hayati, Indonesia tidak kalah dengan Brazil.  Katakanlah, Brazil memiliki keanekaragaman ikan air tawar dan organisme darat yang lebih tinggi tapi keanekaragaman organisme laut di Indonesia jauh lebih tinggi.  Hal lain yang juga menarik, di Indonesia terdapat wilayah pertemuan dua kawasan Australian dan Indo Malaya (Oriental), yaitu Wallacea, yang di dalamnya terkandung endemisitas dengan tingkat keanekaragaman yang sangat tinggi.
Di Indonesia, kawasan biogeografi dan sebarannya meliputi 17.000 pulau, termasuk pulau terbesar kedua dan ketiga di dunia (Kalimantan dan Irian Jaya), bisa dikatakan telah berhasil menandingi brazil dalam hal kekayaan jenis.  Namun sayangnya keterbatasan pengetahuan tentangnya menjadi pemicu munculnya keraguan tentang itu.  Namun demikian, klaim bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang tingkat keanekaragaman hayatinya tertinggi di dunia, terutama keanekaragaman hayati laut, tidak perlu diragukan lagi.

Jumat, 05 Oktober 2012

BEBERAPA PRODUK TUMBUHAN MONOKOTIL (BAMBU)


Bambu ialah kumpulan bagi rumput-rumputan berbentuk pohon kayu atau perdu yang melengkung,  dengan batang-batangnya yang biasanya tegak, kadang-kadang menanjak, mengayu dan bercabang-cabang, dapat mencapai umur panjang dan pada lazimnya mati tanpa bunga.  Batang bambu terdiri dari buku dan ruas.  Pada salah satu sisi buku, muncul cabang yang beruas-ruas dan di antara ruas cabang yang satu dengan yang lainnya dihubungkan oleh buku cabang.  Pada salah satu buku cabang muncul ranting, demikian seterusnya sehingga tanaman bambu merupakan tegakan rumpun dengan batang-batang tegak, bagian ujung batang melengkung dan kiri-kanan muncul cabang pada buku berselang-seling yang dipenuhi oleh ranting dan daun.
Sejak jaman dahulu bambu sudah dikenal sebagai tumbuhan serbaguna bahkan oleh bangsa kita, batang pohon bambu dipakai sebagai simbol senjata dalam meraih kemerdekaan dari tangan penjajah.  Pohon yang termasuk suku Graminea ini merupakan tanaman yang tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia karena tanaman ini sudah menyebar di seluruh kawasan nusantara.
       Di pedesaan seringkali dijumpai tanaman bambu rakyat yang ditanam di lahan-lahan tertentu seperti di pekarangan, di tepi sungai, tepi jurang atau pada batas-batas kepemilikan lahan.  Ciri-ciri rumah di pedesaan yang bahan bangunannya didominasi oleh bambu, menandakan bahwa bambu sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat desa, demikian juga dengan peralatan rumah tangga yang mereka pakai tidak terlepas dari hasil modifikasi bambu yang diraut sedemikian rupa sehingga berguna untuk peralatan rumah tangga sehari-hari. Masyarakat juga memanfaatkan rebung bambu.  Rebung adalah tunas atau batang-batang bambu yang masih muda yang muncul dari permukaan dasar rumpun, tumbuh dan berkembang membentuk kerucut yang merupakan bentuk awal  dari perkembangan batang.  Rebung ini biasanya dipanen untuk dikonsumsi menjadi bahan makanan misalnya untuk dibuat sayur sebagai teman nasi.

Selasa, 02 Oktober 2012

MENJADI IBU, BELAJAR SEPANJANG HAYAT

SELAIN Adam dan Hawa, tak seorang pun di dunia ini yang tidak memiliki ibu. Bahkan bayi mungil yang dibuang di pinggir jalan sekalipun, tetaplah memiliki seorang ibu bagaimanapun bentuk dan wujudnya.
Tetapi ternyata tidaklah mudah untuk sekadar berterima kasih dan menghargai peran seorang ibu. Sebuah peran suci dan sakral yang kini lebih sering dianggap sebagai peran domestik dan amat tradisional. Karenanya, kini tidak sedikit perempuan, termasuk saya, kerap lebih bangga menyebutkan berbagai profesi, entah sebagai guru, wartawan, sekretaris, pedagang, atau profesi lain dibandingkan menyebut dirinya sebagai ibu rumah tangga (saja).
Suatu hari saya pernah mendaftarkan diri untuk melakukan pemeriksaan USG (ultrasonografi) pada bayi yang saya kandung di sebuah klinik bersalin. Tiba-tiba sang perawat dengan ramah menanyakan, “Apakah ibu bekerja?”
Dengan gagap dan segan saya terpaksa menggeleng. Perawat yang ramah itu pun kemudian menuliskan sesuatu di dalam kartu kontrol berobat milik saya. Belakangan saya baru tahu kalau perawat itu menuliskan “IRT” alias “Ibu Rumah Tangga” dalam kolom pekerjaan saya.
Tiba-tiba saya merasakan ada sepenggal hati saya yang terbang entah ke mana. Ada rasa kesal, sedih, malu, atau apa namanya, saya tidak tahu. Yang jelas saya diam-diam mengeluh mengapa saya tak bisa bangga mengatakan bahwa saya (hanyalah) seorang ibu rumah tangga.
Mencari Makna “Fungsi Perempuan”

Entah kenapa, sejak menjalani babak kehidupan yang baru (sebagai ibu rumah tangga murni), tiba-tiba saya merasa belum pernah menjadi “manusia”. Karena, merasa sama sekali belum mempunya nilai dan fungsi sosial bagi kehidupan.
Saya belum mampu memberikan sedikit warna dalam kehidupan meskipun dalam bentuk yang remeh-remeh sekalipun. Bukankah seberapa besar manusia mampu menjadi “manusia” tergantung dari seberapa besar dia memberikan manfaat pada orang lain dan lingkungan sekitarnya?
Dan kini, bagaimana saya bisa merasa menjadi “manusia”? Bagaimana bisa memiliki fungsi sosial jika saat ini kehidupan saya berputar tak lebih dari urusan kerumahtanggaan dan melayani suami?
Tidak pernah lagi saya rasakan kenikmatan memberikan sedikit pengetahuan saya dalam berbagai pelatihan rekan-rekan mahasiswa yang dulu kerap saya lakukan. Juga kepuasan batin yang tiada terkira ketika berhasil mengumpulkan dana dan berbagai bantuan material untuk para korban bencana lewat LSM dan sebuah organisasi kemahasiswaan yang dulu pernah saya geluti. Pun peluh keringat kelegaan setelah berhasil mengejar deadline menyelesaikan tulisan-tulisan untuk tabloid kampus, tempat saya mencurahkan segala ide. Rasanya semua itu sudah begitu lama tidak lagi saya alami. Dan jujur saja!
Saya kangen dengan semua aktivitas itu.
Dulu, saya membayangkan begitu indah dan sederhana kehidupan menjadi seorang ibu rumah tangga. Mengurus suami dan anak-anak, membereskan berbagai urusan rumah, dan menunggu kepulangan mereka dengan senyum yang menyejukkan.
Kenyataannya ternyata tidaklah semudah itu. Ketika suami berangkat bekerja, maka mulailah saya berusaha menikmati segala bentuk kesendirian dengan tenggelam dalam berbagai rutinitas rumah tangga. Dan tetap saja semua itu terasa menyiksa, karena saya tidak lagi mempunyai teman untuk sekadar betukar pendapat tentang berbagai hal.
Otak saya terasa begitu tumpul dan bebal karena sama sekali tidak lagi terasah dalam berbagai forum diskusi. Satu-satunya kegiatan untuk mempertahankan kemampuan otak adalah dengan membaca dan menulis.
Wanita Modern dengan Peran Tradisional
Hingga akhirnya saya menemukan tulisan Annie Iwasaki, sosok perempuan yang dengan bangga menentukan sebuah pilihan untuk bekerja sebagai ibu rumah tangga di tanah air suaminya, Jepang. Annie benar-benar berusaha untuk menghayati dan memaknai kariernya itu. Ia kemudian menemukan bahwa justru dengan kembalinya para perempuan modern yang berpendidikan tinggi kepada peran tradisionalnya sebagai ibu rumah tangga murni, maka negara Jepang bisa maju!
Menurutnya hal ini dikarenankan, pertama, karena bekerjanya perempuan di sektor domestik (rumah tangga) itu berarti mengurangi kemungkinan kelebihan jumlah tenaga kerja di sektor publik. Kedua, perempuan berpendidikan yang bekerja di sektor domestik lebih menjamin terciptanya generasi masa depan Jepang yang berkualitas. Bahkan dalam sebuah artikelnya ia berani memberi judul “Peran Ganda Perempuan Karier Itu Nonsense!
Sejak membaca tulisan itu, saya mulai belajar untuk ikhlas menerima kenyataan bahwa kini saya adalah ibu rumah tangga murni. Meskipun menjadi ibu rumah tangga dalam pengertian yang paling klasik: berdiam di rumah, mengerjakan segala rutinitas kerumahtanggaan dengan tangan dan tetes keringat saya sendiri, adalah hal yang sebelumnya sama sekali tak terbayangkan.

Semasa remaja saya biasa menghabiskan waktu dengan berbagai aktivitas di luar rumah. Mulai dari urusan kuliah, mengerjakan koran kampus, rapat di masjid, rapat organisasi kemahasiswaan, dari pagi hingga malam. Maka apakah berlebihan jika saya begitu gamang menjalani profesi ibu rumah tangga (murni) ini? Apakah berlebihan jika saya begitu gelisah karena harus seharian berdiam diri di rumah dengan setumpuk pekerjaan rumah tangga yang seolah tiada berujung?
Menemukan Permata
Waktu terus berjalan. Putri kecil saya menginjak usia dua tahun. Celoteh dan tingkah lakunya telah mengajarkan begitu banyak hal kepada saya untuk terus belajar menjadi ibu yang baik. Bukankah guru terbaik seorang ibu adalah pengalamannya sendiri?
Bukankah proses belajar menjadi ibu yang baik adalah proses sepanjang hayat?
Begitu satu tahap perkembangan keluarga telah terlampaui, maka masih terdapat milyaran tahapan pembinaan keluarga yang harus dijalani. Bukan sekadar mengandung selama sembilan bulan sepuluh hari. Sebab begitu terlahir, bayi itu masih harus dijaga, disuapi, dilimpahi kasih sayang, dididik agar ketika dewasa tidak tersesat jalan, juga masih harus disekolahkan. Setelah anak selesai sekolah apakah tugas ibu selesai?
Tentu saja tidak. Sang ibu akan terus memikirkan dimana si anak bekerja, bagaimana pendamping hidupnya, cukupkah kebutuhan hidupnya, bahagiakah perkawinannya? Dan sederetan pertanyaan lain yang akan terus mengikuti sang ibu dan menuntutnya untuk terus belajar hingga tutup usia. Maka adakah proses belajar (menjadi) seorang ibu? Tentu saja batasnya hingga akhir hayat.
Jadi, kegamangan yang saya alami ketika mulai menjalani profesi sebagai ibu rumah tangga, mungkin itu adalah bagian dari proses belajar menjadi ibu. Kini saya sudah kembali ke kota asal saya yang dingin, Malang (Jatim).

Saya kembali bergabung dengan teman-teman untuk mengaji seminggu sekali dan menghadiri pengajian umum tiap Ahad pagi. Saya juga menjalin hubungan baik dengan para tetangga, memberikan kursus bordir untuk menambah penghasilan keluarga, dan terus belajar menjadi istri sekaligus ibu yang baik.
Bayi mungil saya telah tumbuh menjadi malaikat kecil yang setiap saat mampu mengingatkan saya, betapa hidup hanya sekali dan hanya akan bermuara pada kematian.
Sebagaimana dulu bayi saya tidak ada, kini Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikannya ada! Maka kelak Allah pun akan menjadikan saya tiada. Tidak ada pilihan lain bagi saya selain berusaha untuk memberikan yang terbaik sebagai bekal pertanggungjawaban kelak di Hari Pembalasan.
Anda mengalami keresahan ketika harus menjalani profesi ibu rumah tangga murni? Mulai sekarang, sapalah lingkungan sekitar Anda. Bergabunglah dengan kelompok-kelompok pengajian di sekitar tempat tinggal. Interaksi sosial yang baik akan banyak membantu menyegarkan sekaligus menghilangkan kejenuhan akibat rutinitas rumah yang cenderung monoton.
Atau jika Anda resah karena penghasilan suami begitu minim, mulailah untuk mengembangkan potensi. Apapun itu! Pun bila Anda bingung harus memulai dari mana, sertakanlah Allah dalam setiap usaha. Berdoalah pada-Nya. Allah Maha Kaya, Dia akan membukakan pintu-pintu rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. 
Allah akan membantu sebesar apapun masalah dan kesulitan kita. Tetapi semua itu hanya mungkin terjadi jika seorang perempuan, seorang hamba, mampu berlaku ikhlas serta mau melibatkan Allah dalam setiap detik pengabdiannya.*/Indah Triwahyuni, ST. Ibu rumah tangga tinggal di Malang/Hidayatullah.com.